FreeDoM FighTeR

Sunday, August 20, 2006

Mengapa Ulama berbeda Pendapat...?

oleh: Nadirsyah Hosen

Saya menangkap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut:

  1. Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
  2. Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".

Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.

Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:

  1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
  2. lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
  3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
  4. lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:

  1. al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
  2. al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
  3. al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
**

Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga bermanfaat dan dapat memperjelas bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.

Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:

2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.

a. Kedudukan hadis

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).

Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.

Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.

Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.

Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).

Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.

Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

b. makna suatu hadis

Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.

Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.

Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.

**

Ini lanjutan dari dua mail sebelumnya. Sekedar mengingatkan, pada dua email sebelumnya saya sudah menunjukkan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Pada mail kali ini saya akan menyampaikan sebab ketiga para ulama berbeda pendapat, yaitu perbedaan dalam metode berijtihad (manahij al-ijtihad atau turuqul istinbath).

3. Perbedaan dalam metode ijtihad

A. Sejarah singkat

Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.

Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.

Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.

Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

B. Metode Ijtihad

B.1. Imam Abu Hanifah

  1. Berpegang pada dalalatul Qur'an
    1. Menolak mafhum mukhalafah
    2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
    3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
  2. Berpegang pada hadis Nabi
    1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
    2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
  3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
  4. Berpegang pada Qiyas
    1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
  5. Berpegang pada istihsan

B.2. Imam Malik bin Anas

  1. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
    1. zhahir Nash
    2. menerima mafhum mukhalafah
  2. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
  3. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
  4. Qaulus shahabi
  5. Qiyas
  6. Istihsan
  7. Mashalih al-Mursalah

B.3 Imam Syafi'i

  1. Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
  2. Ijma'
  3. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
  4. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
  5. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

B.4. Imam Ahmad bin Hanbal

  1. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
    1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
    2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
  2. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
  3. Ijma'
  4. Qiyas

Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:

  1. Imam Abu Hanifah
  2. Imam Syafi'i
  3. Imam Malik
  4. Imam Ahmad bin Hanbal

Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:

  1. Imam Ahmad bin Hanbal
  2. Imam Malik bin Anas
  3. Imam Syafi'i
  4. Imam Abu Hanifah

(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)

Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:

  1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka
  2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis

Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.

Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.

Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.

Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.

Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?

Al-Haq min Allah!

Sunday, August 13, 2006

Krisis Israel - Libanon: Momen Penyatuan Kaum Muslim

Memasuki hari ke 29, Israel sampai saat ini masih melancarkan sejumlah pengeboman udara dan tembakan artileri ke berbagai wilayah Libanon dan Palestina. Serangan yang dipicu karena “penculikan” seorang tentara muda Israel di Palestina dan 2 orang tentara Israel lainnya di Libanon selatan telah banyak menimbulkan korban jiwa maupun terluka di pihak warga sipil. Salah satu serangan paling berdarah Israel, yaitu ketika jet-jet tempur Israel mengebom desa Qana pada saat penduduknya sedang dibuai mimpi. Korban tewas mencapai 60 orang, 37 diantaranya anak-anak. Kementerian Kesehatan Libanon menaksir sekitar 1000 orang tewas dan 2000 lainnya luka-luka sejak kali pertama serangan dimulai. Sebagai reaksi atas apa yang berlaku, jutaan muslim dan non-muslim di seluruh dunia berdemonstrasi mengutuk kebiadaban Israel tersebut, mulai dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Iran, Irak, Suriah, Mesir, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Venezuela, dll. Di Jakarta, aksi sejuta umat yang diadakan selepas Jumat, 4 Agustus 2006 dan aksi serupa pada hari ahad lusanya , serta berbagai unjuk rasa yang dihadiri ribuan orang di berbagai kota-kota besar dunia menunjukkan kepedulian masyarakat dunia terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Berbagai organisasi multinasional pun turut bersidang mencari solusi terhadap krisis ini, sebut saja PBB, Uni Eropa (UE), OKI, Liga Arab, ASEAN, dsb. Namun sampai saat ini belum ada tindakan tegas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut terhadap Israel. Sejauh ini yang bisa disodorkan sebagai solusi ialah dilakukannya gencatan senjata dan dibentuknya zona penyangga di kawasan selatan Libanon yang dijaga tentara perdamaian PBB.


Sebagaimana telah diberitakan dalam berbagai media, krisis ini bermula dari “penculikan” tentara Israel bernama Gilad Shalit oleh pejuang Hamas, disusul kemudian dengan serangan pejuang Hizbullah ke pos perbatasan Israel – Libanon yang menewaskan 9 tentara Israel dan 2 lainnya tertawan. Penggunaan terma “penculikan” (kidnapping) yang selama ini selalu didengung-dengungkan Israel dan media-media arus utama sesungguhnya merupakan istilah yang keliru dan cenderung menyesatkan arti sebenarnya dari konflik yang selama ini terjadi antara Israel – Palestina maupun antara Israel – Hizbullah. Tentara-tentara yang katanya diculik itu bukanlah tentara yang sedang duduk-duduk di rumahnya tetapi merupakan tentara yang sedang bertugas di medan perang. Istilah yang tepat untuk situasi seperti ini ialah “penawanan” (capturing) yang sah-sah saja dilakukan oleh kedua pihak yang berperang. Tujuan penangkapan serdadu-serdadu Israel ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh pejuang-pejuang Hamas maupun Hizbullah adalah untuk ditukar dengan tawanan-tawanan Arab yang mendekam di penjara Israel yang diperkirakan jumlahnya mencapai 9000 orang. Yang menarik disini, ialah bahwa Israel tampaknya tidak tertarik dengan tukar-menukar tahanan tetapi kemudian menjadikan peristiwa ini sebagai justifikasi serangan membabi-buta di Jalur Gaza dan Libanon. Lebih menarik lagi, karena serangan Israel ke Libanon yang katanya untuk menghancurkan kekuatan Hizbullah ternyata mencapai Libanon utara bahkan sampai di perbatasan antara Libanon dengan Suriah, padahal kita tahu bahwa Hizbullah berada di Libanon selatan dan sama sekali tidak ada di Libanon utara. Target-target serangan Israel pun bisa dikatakan serampangan, karena lebih banyak mengenai bangunan sipil. Oleh karena itu, patut dicurigai adanya agenda terselubung di balik serangan ini. Sudah ratusan warga sipil Israel yang tewas akibat bom syahid para pejuang Palestina jauh sebelum insiden penawanan serdadu-serdadu Israel, namun mengapa baru setelah penawanan serdadu tersebut Israel kemudian membabi-buta bahkan mengirim Libanon kembali ke zaman batu. Seolah-olah perkara ini merupakan perkara hidup mati (Qadiya Masiriyya) bagi Israel.


Jika ditelusuri ke belakang, berbagai peristiwa yang terjadi di libanon nampaknya memiliki keterkaitan erat. Dimulai dengan terbunuhnya Rafiq Hariri, mantan PM Libanon, yang kemudian membuat Suriah angkat kaki dari Libanon. Setelah keluarnya Suriah-yang merupakan pendukung utama Hizbullah- dari Libanon, maka apa yang sedang berusaha dicapai Israel saat ini adalah melumpuhkan kekuatan Hizbullah sampai ke akar-akarnya dan memutus hubungan antara Hizbullah dengan Suriah dan Iran. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Menteri Pertahanan Israel, Amir Peretz yang mengatakan akan mengerahkan operasi darat besar-besaran. Untuk memutus hubungan Hizbullah dengan Suriah dan Iran, maka Israel menargetkan jalur-jalur transportasi seperti jalan dan jembatan. Serangan pertama Israel atas Libanon dimulai dengan pemboman atas Bandar Udara ibukota Beirut. Armada laut Israel pun telah mengepung pelabuhan-pelabuhan yang ada di pesisir Libanon. Sebuah bocoran dari Kementrian Pertahanan Amerika Serikat telah menyingkap agenda sebenarnya di kawasan tersebut. Dalam suatu wawancara dengan seorang staf Kementrian yang tidak bersedia disebutkan namanya, dikatakan bahwa AS memberi waktu satu minggu pada Israel untuk menghancurkan Hizbullah, setelah itu akan dibentuk zona penyangga sepanjang 19 kilometer dari perbatasan untuk mencegah serangan roket-roket Hizbullah ke Israel. Agenda AS di Timur Tengah nampaknya menginginkan musnahnya semua kekuatan yang menantang hegemoni AS dan mengancam eksistensi Israel.

Liga Arab dan OKI, seperti biasa, hanya “pandai”' menghasilkan slogan demi slogan, resolusi demi resolusi yang sekedar kecaman dan seruan tidak bermakna. Para anggota Liga Arab yang mengadakan sidang darurat guna membicarakan situasi di Asia Barat malah saling bertengkar mempersoalkan status tindakan Hizbullah menawan dua orang tentara Israel yang mengakibatkan serangan Israel atas Lebanon adalah tindakan yang sah atau tidak. Mereka tidak membincangkan bagaimana untuk menghadapi Israel atau sekurang-kurangnya mempersoalkan tindakan kejam Israel yang melakukan serangan brutal atas Lebanon, diantara wakil-wakil negara-negara Arab tersebut, hanya wakil Suriah yang berbicara lantang mendukung Hizbullah, wakil lainnya tidak berkomentar, sementara wakil Arab Saudi malah menjadikan Hizbullah sebagai “kambing hitam”.


Yang lebih menyedihkan lagi, kaum Muslim (terutama para penguasanya) hanya menganggap krisis Libanon dan Palestina sebagai masalah dalam negeri masing-masing. Komentar Presiden Mesir, Husni Mubarak, kiranya cukup untuk mewakili sikap penguasa-penguasa kaum Muslim sekarang ini. Dia menyatakan tidak akan membawa Mesir berperang dengan Israel, dengan alasan rakyat Mesir lebih butuh pembangunan daripada perang. Inilah manifestasi dari pemikiran kufur yang ada pada mereka, menganggap peperangan di Palestina dan Libanon sebagai masalah orang asing.

Sesungguhnya tidak ada alasan bagi Dunia Islam saat ini untuk takut kepada Amerika, apatah lagi Israel. Meskipun saat ini industri militer Dunia Islam nampak tertinggal dari Amerika, secara kuantitas, potensi tentara di Dunia Islam sesungguhnya sangat besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh CIA World Fact Book, potensi kekuatan tentara (military manpower availability) dan kelayakan untuk menyertai tentara (fit for military service) yang dimiliki oleh beberapa negeri Islam luar biasa. Dengan gabungan tentera Mesir, Irak, Iran, Pakistan, Turki dan Indonesia saja, potensi pasukan kaum Muslim yang tersedia berjumlah sekitar 162 juta. Jika dibandingkan dengan AS, potensi tentaranya hanya 79 juta, apalagi dengan Israel yang hanya memiliki potensi tentara sekitar 1.5 juta serdadu pria dan 1.4 juta serdadu wanita. Bukti yang ada sekarang sudah cukup menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kuat. Walaupun Israel (sebuah negara) hanya meghadapi sebuah kelompok yaitu Hizbullah, ternyata sampai saat ini, Israel tidak mampu mengalahkan Hizbullah. Boleh dikatakan setiap hari ada saja muncul berita mengenai kekalahan di pihak Israel. Israel mengakui kehilangan 4 tentaranya pada Kamis lalu (20/07/06) Kemudian, 4 orang pasukannya terbunuh, dan 14 lainnya luka parah dalam satu pertempuran lain. Sumber-sumber Israel juga menyebut bahwa helikopter Apache miliknya telah jatuh diserang peluru kendali Hizbullah. Menurut Hizbullah, mereka juga berhasil meledakkan dua tank Mirkava milik Israel yang berusaha masuk ke wilayah Marun Ras, pada pagi Kamis. Televisi Al-Mannar menyebutkan, pasukan Hizbullah berhasil merampas sejumlah peralatan tentara Israel, seperti senjata, teropong infra merah, dan sejumlah peralatan lainnya. Selain peperangan yang sedang berlaku sekarang, kita juga masih belum selesai menyaksikan AS semakin hilang kekuatan di Irak. Walaupun perang telah dinyatakan selesai, angka kematian tentara AS semakin meningkat dari hari ke hari, yang kini mencapai lebih dua ribu orang. AS bukannya berhadapan dengan sebuah negara (Irak), tetapi hanya berhadapan dengan milisi-milisi dari kaum Muslim yang tidak dapat dikenal pasti oleh mereka. AS, sebagai sebuah negara super power dan mempunyai segala peralatan perang dengan teknologi canggih, berperang dengan milisi yang tidak jelas siapa dan kekurangan peralatan, tetapi gagal mengatasinya. Bayangkan , jika umat Islam disatukan dengan satu pemerintahan dan dipimpin oleh seorang Khalifah, maka saat kehancuran Amerika dan sekutunya Israel sudah pasti tidak dapat dielakkan lagi.


Rasulullah SAW telah melancarkan jihad atas Yahudi Bani Qainuqa hanya karena tersingkapnya aurat seorang muslimah. Khalifah al-Mu'tasim Billah dengan sigap membela seorang muslimah yang kehormatannya diganggu oleh tentara Romawi di kota Amuria. Hanya karena membela seorang rakyatnya yang dinodai, sang Khalifah mengirimkan ratusan ribu pasukan kaum Muslim hingga berhasil menaklukkan kota tersebut. Demikian pula Khalifah Abdul Hamid II yang mati-matian mempertahankan tanah Palestina dari berbagai usaha Yahudi untuk mendudukinya, karena keyakinan beliau bahwa tanah Palestina adalah tanah umat Islam yang wajib dijaga oleh seorang Khalifah. Kini tiba saatnya bagi kaum Muslim untuk bersatu melawan penjajah AS dan Israel di bawah naungan Khilafah. Kiranya kita patut merenungkan firman Allah SWT dan hadis Rasulullah SAW berikut:

la-in ukhrijuu laa yakhrujuuna ma'ahum wala-in quutiluu laa yanshuruunahum wala-in nasharuuhum layuwallunna al-adbaara tsumma laa yunsharuuna

Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tiada akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan. (al-Hasyr:12).

laa yuqaatiluunakum jamii'an illaa fii quran muhashshanatin aw min waraa-i judurin ba/suhum baynahum syadiidun tahsabuhum jamii'an waquluubuhum syattaa dzaalika bi-annahum qawmun laa ya'qiluuna

[59:14] Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.

Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW bersabda:

Tidak akan kiamat sampai kalian memerangi kaum Yahudi. Lalu kaum muslimin membunuh mereka, sehingga kaum Yahudi bersembunyi di belakang batu (tembok) dan pohon, namun batu dan pohon itu akan berkata: 'Wahai hamba Allah, wahai muslim, inilah Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah! Kecuali pohon Gharqad, karena ia adalah pohon Yahudi" (HR. Bukhari).

Wallahu a'lam bis shawab