FreeDoM FighTeR

Sunday, August 20, 2006

Mengapa Ulama berbeda Pendapat...?

oleh: Nadirsyah Hosen

Saya menangkap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai berikut:

  1. Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
  2. Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".

Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:

1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.

Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:

  1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
  2. lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
  3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
  4. lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:

  1. al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
  2. al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
  3. al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
**

Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga bermanfaat dan dapat memperjelas bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.

Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:

2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.

a. Kedudukan hadis

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).

Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.

Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.

Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.

Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).

Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.

Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

b. makna suatu hadis

Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.

Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.

Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.

**

Ini lanjutan dari dua mail sebelumnya. Sekedar mengingatkan, pada dua email sebelumnya saya sudah menunjukkan bahwa semua ulama berpegang teguh pada Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang "membuka peluang" adanya perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Pada mail kali ini saya akan menyampaikan sebab ketiga para ulama berbeda pendapat, yaitu perbedaan dalam metode berijtihad (manahij al-ijtihad atau turuqul istinbath).

3. Perbedaan dalam metode ijtihad

A. Sejarah singkat

Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.

Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.

Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.

Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".

Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.

B. Metode Ijtihad

B.1. Imam Abu Hanifah

  1. Berpegang pada dalalatul Qur'an
    1. Menolak mafhum mukhalafah
    2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
    3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
  2. Berpegang pada hadis Nabi
    1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
    2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
  3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
  4. Berpegang pada Qiyas
    1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
  5. Berpegang pada istihsan

B.2. Imam Malik bin Anas

  1. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
    1. zhahir Nash
    2. menerima mafhum mukhalafah
  2. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
  3. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
  4. Qaulus shahabi
  5. Qiyas
  6. Istihsan
  7. Mashalih al-Mursalah

B.3 Imam Syafi'i

  1. Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
  2. Ijma'
  3. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
  4. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
  5. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

B.4. Imam Ahmad bin Hanbal

  1. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
    1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
    2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
  2. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
  3. Ijma'
  4. Qiyas

Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:

  1. Imam Abu Hanifah
  2. Imam Syafi'i
  3. Imam Malik
  4. Imam Ahmad bin Hanbal

Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:

  1. Imam Ahmad bin Hanbal
  2. Imam Malik bin Anas
  3. Imam Syafi'i
  4. Imam Abu Hanifah

(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984)

Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama:

  1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka
  2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis

Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.

Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.

Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya.

Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.

Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?

Al-Haq min Allah!

Sunday, August 13, 2006

Krisis Israel - Libanon: Momen Penyatuan Kaum Muslim

Memasuki hari ke 29, Israel sampai saat ini masih melancarkan sejumlah pengeboman udara dan tembakan artileri ke berbagai wilayah Libanon dan Palestina. Serangan yang dipicu karena “penculikan” seorang tentara muda Israel di Palestina dan 2 orang tentara Israel lainnya di Libanon selatan telah banyak menimbulkan korban jiwa maupun terluka di pihak warga sipil. Salah satu serangan paling berdarah Israel, yaitu ketika jet-jet tempur Israel mengebom desa Qana pada saat penduduknya sedang dibuai mimpi. Korban tewas mencapai 60 orang, 37 diantaranya anak-anak. Kementerian Kesehatan Libanon menaksir sekitar 1000 orang tewas dan 2000 lainnya luka-luka sejak kali pertama serangan dimulai. Sebagai reaksi atas apa yang berlaku, jutaan muslim dan non-muslim di seluruh dunia berdemonstrasi mengutuk kebiadaban Israel tersebut, mulai dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Iran, Irak, Suriah, Mesir, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Venezuela, dll. Di Jakarta, aksi sejuta umat yang diadakan selepas Jumat, 4 Agustus 2006 dan aksi serupa pada hari ahad lusanya , serta berbagai unjuk rasa yang dihadiri ribuan orang di berbagai kota-kota besar dunia menunjukkan kepedulian masyarakat dunia terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Berbagai organisasi multinasional pun turut bersidang mencari solusi terhadap krisis ini, sebut saja PBB, Uni Eropa (UE), OKI, Liga Arab, ASEAN, dsb. Namun sampai saat ini belum ada tindakan tegas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut terhadap Israel. Sejauh ini yang bisa disodorkan sebagai solusi ialah dilakukannya gencatan senjata dan dibentuknya zona penyangga di kawasan selatan Libanon yang dijaga tentara perdamaian PBB.


Sebagaimana telah diberitakan dalam berbagai media, krisis ini bermula dari “penculikan” tentara Israel bernama Gilad Shalit oleh pejuang Hamas, disusul kemudian dengan serangan pejuang Hizbullah ke pos perbatasan Israel – Libanon yang menewaskan 9 tentara Israel dan 2 lainnya tertawan. Penggunaan terma “penculikan” (kidnapping) yang selama ini selalu didengung-dengungkan Israel dan media-media arus utama sesungguhnya merupakan istilah yang keliru dan cenderung menyesatkan arti sebenarnya dari konflik yang selama ini terjadi antara Israel – Palestina maupun antara Israel – Hizbullah. Tentara-tentara yang katanya diculik itu bukanlah tentara yang sedang duduk-duduk di rumahnya tetapi merupakan tentara yang sedang bertugas di medan perang. Istilah yang tepat untuk situasi seperti ini ialah “penawanan” (capturing) yang sah-sah saja dilakukan oleh kedua pihak yang berperang. Tujuan penangkapan serdadu-serdadu Israel ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh pejuang-pejuang Hamas maupun Hizbullah adalah untuk ditukar dengan tawanan-tawanan Arab yang mendekam di penjara Israel yang diperkirakan jumlahnya mencapai 9000 orang. Yang menarik disini, ialah bahwa Israel tampaknya tidak tertarik dengan tukar-menukar tahanan tetapi kemudian menjadikan peristiwa ini sebagai justifikasi serangan membabi-buta di Jalur Gaza dan Libanon. Lebih menarik lagi, karena serangan Israel ke Libanon yang katanya untuk menghancurkan kekuatan Hizbullah ternyata mencapai Libanon utara bahkan sampai di perbatasan antara Libanon dengan Suriah, padahal kita tahu bahwa Hizbullah berada di Libanon selatan dan sama sekali tidak ada di Libanon utara. Target-target serangan Israel pun bisa dikatakan serampangan, karena lebih banyak mengenai bangunan sipil. Oleh karena itu, patut dicurigai adanya agenda terselubung di balik serangan ini. Sudah ratusan warga sipil Israel yang tewas akibat bom syahid para pejuang Palestina jauh sebelum insiden penawanan serdadu-serdadu Israel, namun mengapa baru setelah penawanan serdadu tersebut Israel kemudian membabi-buta bahkan mengirim Libanon kembali ke zaman batu. Seolah-olah perkara ini merupakan perkara hidup mati (Qadiya Masiriyya) bagi Israel.


Jika ditelusuri ke belakang, berbagai peristiwa yang terjadi di libanon nampaknya memiliki keterkaitan erat. Dimulai dengan terbunuhnya Rafiq Hariri, mantan PM Libanon, yang kemudian membuat Suriah angkat kaki dari Libanon. Setelah keluarnya Suriah-yang merupakan pendukung utama Hizbullah- dari Libanon, maka apa yang sedang berusaha dicapai Israel saat ini adalah melumpuhkan kekuatan Hizbullah sampai ke akar-akarnya dan memutus hubungan antara Hizbullah dengan Suriah dan Iran. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Menteri Pertahanan Israel, Amir Peretz yang mengatakan akan mengerahkan operasi darat besar-besaran. Untuk memutus hubungan Hizbullah dengan Suriah dan Iran, maka Israel menargetkan jalur-jalur transportasi seperti jalan dan jembatan. Serangan pertama Israel atas Libanon dimulai dengan pemboman atas Bandar Udara ibukota Beirut. Armada laut Israel pun telah mengepung pelabuhan-pelabuhan yang ada di pesisir Libanon. Sebuah bocoran dari Kementrian Pertahanan Amerika Serikat telah menyingkap agenda sebenarnya di kawasan tersebut. Dalam suatu wawancara dengan seorang staf Kementrian yang tidak bersedia disebutkan namanya, dikatakan bahwa AS memberi waktu satu minggu pada Israel untuk menghancurkan Hizbullah, setelah itu akan dibentuk zona penyangga sepanjang 19 kilometer dari perbatasan untuk mencegah serangan roket-roket Hizbullah ke Israel. Agenda AS di Timur Tengah nampaknya menginginkan musnahnya semua kekuatan yang menantang hegemoni AS dan mengancam eksistensi Israel.

Liga Arab dan OKI, seperti biasa, hanya “pandai”' menghasilkan slogan demi slogan, resolusi demi resolusi yang sekedar kecaman dan seruan tidak bermakna. Para anggota Liga Arab yang mengadakan sidang darurat guna membicarakan situasi di Asia Barat malah saling bertengkar mempersoalkan status tindakan Hizbullah menawan dua orang tentara Israel yang mengakibatkan serangan Israel atas Lebanon adalah tindakan yang sah atau tidak. Mereka tidak membincangkan bagaimana untuk menghadapi Israel atau sekurang-kurangnya mempersoalkan tindakan kejam Israel yang melakukan serangan brutal atas Lebanon, diantara wakil-wakil negara-negara Arab tersebut, hanya wakil Suriah yang berbicara lantang mendukung Hizbullah, wakil lainnya tidak berkomentar, sementara wakil Arab Saudi malah menjadikan Hizbullah sebagai “kambing hitam”.


Yang lebih menyedihkan lagi, kaum Muslim (terutama para penguasanya) hanya menganggap krisis Libanon dan Palestina sebagai masalah dalam negeri masing-masing. Komentar Presiden Mesir, Husni Mubarak, kiranya cukup untuk mewakili sikap penguasa-penguasa kaum Muslim sekarang ini. Dia menyatakan tidak akan membawa Mesir berperang dengan Israel, dengan alasan rakyat Mesir lebih butuh pembangunan daripada perang. Inilah manifestasi dari pemikiran kufur yang ada pada mereka, menganggap peperangan di Palestina dan Libanon sebagai masalah orang asing.

Sesungguhnya tidak ada alasan bagi Dunia Islam saat ini untuk takut kepada Amerika, apatah lagi Israel. Meskipun saat ini industri militer Dunia Islam nampak tertinggal dari Amerika, secara kuantitas, potensi tentara di Dunia Islam sesungguhnya sangat besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh CIA World Fact Book, potensi kekuatan tentara (military manpower availability) dan kelayakan untuk menyertai tentara (fit for military service) yang dimiliki oleh beberapa negeri Islam luar biasa. Dengan gabungan tentera Mesir, Irak, Iran, Pakistan, Turki dan Indonesia saja, potensi pasukan kaum Muslim yang tersedia berjumlah sekitar 162 juta. Jika dibandingkan dengan AS, potensi tentaranya hanya 79 juta, apalagi dengan Israel yang hanya memiliki potensi tentara sekitar 1.5 juta serdadu pria dan 1.4 juta serdadu wanita. Bukti yang ada sekarang sudah cukup menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kuat. Walaupun Israel (sebuah negara) hanya meghadapi sebuah kelompok yaitu Hizbullah, ternyata sampai saat ini, Israel tidak mampu mengalahkan Hizbullah. Boleh dikatakan setiap hari ada saja muncul berita mengenai kekalahan di pihak Israel. Israel mengakui kehilangan 4 tentaranya pada Kamis lalu (20/07/06) Kemudian, 4 orang pasukannya terbunuh, dan 14 lainnya luka parah dalam satu pertempuran lain. Sumber-sumber Israel juga menyebut bahwa helikopter Apache miliknya telah jatuh diserang peluru kendali Hizbullah. Menurut Hizbullah, mereka juga berhasil meledakkan dua tank Mirkava milik Israel yang berusaha masuk ke wilayah Marun Ras, pada pagi Kamis. Televisi Al-Mannar menyebutkan, pasukan Hizbullah berhasil merampas sejumlah peralatan tentara Israel, seperti senjata, teropong infra merah, dan sejumlah peralatan lainnya. Selain peperangan yang sedang berlaku sekarang, kita juga masih belum selesai menyaksikan AS semakin hilang kekuatan di Irak. Walaupun perang telah dinyatakan selesai, angka kematian tentara AS semakin meningkat dari hari ke hari, yang kini mencapai lebih dua ribu orang. AS bukannya berhadapan dengan sebuah negara (Irak), tetapi hanya berhadapan dengan milisi-milisi dari kaum Muslim yang tidak dapat dikenal pasti oleh mereka. AS, sebagai sebuah negara super power dan mempunyai segala peralatan perang dengan teknologi canggih, berperang dengan milisi yang tidak jelas siapa dan kekurangan peralatan, tetapi gagal mengatasinya. Bayangkan , jika umat Islam disatukan dengan satu pemerintahan dan dipimpin oleh seorang Khalifah, maka saat kehancuran Amerika dan sekutunya Israel sudah pasti tidak dapat dielakkan lagi.


Rasulullah SAW telah melancarkan jihad atas Yahudi Bani Qainuqa hanya karena tersingkapnya aurat seorang muslimah. Khalifah al-Mu'tasim Billah dengan sigap membela seorang muslimah yang kehormatannya diganggu oleh tentara Romawi di kota Amuria. Hanya karena membela seorang rakyatnya yang dinodai, sang Khalifah mengirimkan ratusan ribu pasukan kaum Muslim hingga berhasil menaklukkan kota tersebut. Demikian pula Khalifah Abdul Hamid II yang mati-matian mempertahankan tanah Palestina dari berbagai usaha Yahudi untuk mendudukinya, karena keyakinan beliau bahwa tanah Palestina adalah tanah umat Islam yang wajib dijaga oleh seorang Khalifah. Kini tiba saatnya bagi kaum Muslim untuk bersatu melawan penjajah AS dan Israel di bawah naungan Khilafah. Kiranya kita patut merenungkan firman Allah SWT dan hadis Rasulullah SAW berikut:

la-in ukhrijuu laa yakhrujuuna ma'ahum wala-in quutiluu laa yanshuruunahum wala-in nasharuuhum layuwallunna al-adbaara tsumma laa yunsharuuna

Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tiada akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan. (al-Hasyr:12).

laa yuqaatiluunakum jamii'an illaa fii quran muhashshanatin aw min waraa-i judurin ba/suhum baynahum syadiidun tahsabuhum jamii'an waquluubuhum syattaa dzaalika bi-annahum qawmun laa ya'qiluuna

[59:14] Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.

Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW bersabda:

Tidak akan kiamat sampai kalian memerangi kaum Yahudi. Lalu kaum muslimin membunuh mereka, sehingga kaum Yahudi bersembunyi di belakang batu (tembok) dan pohon, namun batu dan pohon itu akan berkata: 'Wahai hamba Allah, wahai muslim, inilah Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah! Kecuali pohon Gharqad, karena ia adalah pohon Yahudi" (HR. Bukhari).

Wallahu a'lam bis shawab


Wednesday, July 26, 2006

Arti Sebuah Bendera.....

Minggu, 23 Juli 2006, sejak pukul 7 pagi, orang-orang mulai berkumpul di depan monumen Mandala Makassar guna mengikuti long march dalam rangka mengutuk aksi zionis Israel di Palestina dan Libanon. Aksi ini dikoordinir oleh Forum Muslim Sulsel Peduli Palestina (FMSP2). Panggung utama aksi adalah sebuah truk tronton. Panitia mulai memanaskan suasana dengan nasyid-nasyid penyemangat. Massapun dengan semangat mengibarkan bendera serta atribut yang mereka bawa. Di atas truk terdapat bendera Merah-Putih, bendera Palestina, dan bendera salah satu partai Islam. Ketika iring-iringan massa mulai berjalan, beberapa teman berinisiatif menaikkan al-Liwa (bendera Islam bertuliskan dua kalimat tauhid, baik dengan latar hitam tulisan putih atau latar putih tulisan hitam) ke atas truk. Disinilah insiden terjadi...panitia ternyata menyuruh turun teman yang membawa bendera tadi dengan alasan bahwa yang boleh ada di atas truk cuma bendera Merah-Putih dan bendera Palestina, sedang bendera "Ormas" dilarang. Sungguh ironis karena sebelumnya di atas truk itu juga ada bendera salah satu "partai" Islam. Terlebih lagi, mereka ternyata tidak mengenali al-Liwa sebagai bendera kesatuan umat, tapi sebagai bendera "ormas". Apakah mereka yang melarang naiknya al-Liwa mengetahui betapa banyak darah para syuhada tumpah demi mempertahankan bendera tersebut??? Apakah mereka mengetahui bahwa sebelum Palestina memiliki bendera seperti sekarang, bendera mereka dulunya adalah al-Liwa???Apakah mereka mengetahui bahwa Rasulllah SAW telah mewariskan bendera tersebut kepada kita untuk dipertahankan kibarannya sampai titik darah penghabisan???wallahu a'lam bi shawab...

Wednesday, January 11, 2006

Wallahu Khairul Makiriin

Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (TQS an-Naml:50)

Tau ga pren...peristiwa 9/11 alias sebelas september 2001 saat 2 burung besi terantuk di menara kembar WTC.....peristiwa ini bisa dikatakan momentum hubungan antara Islam dg Barat. Selepas peristiwa itu,muncul peristiwa-peristiwa susulan berupa peledakan bom. Di Bali aja sampe 2 kali, belum lagi di Hotel Marriott, kedubes Aussie,dsb. Masih ada lagi di luar negeri, yg paling gres tentu bom london dg 4 pelakunya yg semuanya muslim.
Nt2 pada tau kan apa yg terjadi dg maraknya aksi-aksi peledakan itu. Umat Islam jadi tertuduh pren...!!!semua aksi-aksi tersebut selalu dikaitkan dengan Islam dalam berbagai ungkapan. Ya terorislah, radikal lah,fundamentalis lah,dsb...intinya cuma satu pren. Orang2 yg ngucapin islam teroris,radikal,dsb ingin agar umat Islam menjauhi agamanya dan mengadopsi nilai2 barat. U pernah dengar kan istilah teori konspirasi. Maksutnya merekayasa aksi2 tertentu untuk mendiskreditkan sekelompok tertentu. Terlepas dari siapa pelaku sebenarnya aksi2 di atas, namun amat jelas arah opini yg dituju dari berbagai peristiwa tersebut. Yaitu ingin menciptakan opini buruk mengenai ajaran Islam yg sesungguhnya.
Namun u teu kan pren...secanggih-canggihnya makar yg dibuat manusia untuk menghancurkan Islam masih jauh lebih canggih makar Allah SWT untuk melindungi agamanya. Pernah baca ga' mengenai perkembangan Islam di Belanda? Pasca 11 September, di Londo sono makin banyak aja orang bule yg jadi muslim pren. Umumnya mereka penasaran ingin mengetahui lebih jauh mengenai Islam. Menurut koran sih...tiap 3 hari ada satu londo yg masuk Islam. Nah lho...!!! Belum lagi serangan AS ke Afgan n Irak yg diharapkan mampu meredam aktivitas para militan ternyata makin menyuburkan gerakan anti AS di seluruh dunia. Belum lagi terungkapnya sejumlah kasus yg semakin memperburuk citra AS di mata internasional seperti kasus pelemparan al-Quran ke dalam toilet,penyiksaan tahanan di guantanamo,penjara rahasia CIA,...trus alasan AS yg menyerang Irak karena senjata pemusnah massal ternyata bohong belaka. Malah menurut situs islamonline.com, untuk menutupi kebohongannya, AS berencana menanam sejumlah senjata pemusnah massal sebagai bukti adanya WMD di tanah Irak, wah wah!!! Yang lebih asyik lagi pren...Islam murni yg selalu mereka propagandakan sebagai suatu hal yg negatif, ternyata malah semakin diminati orang. Bahkan terjadi peningkatan orang-orang yg ingin kembali pada Islam sebagai suatu ideologi...Naah, jadi sekarang nt ngerti kan maksut dari firman Allah di atas. So, tugas kita pren adalah tetap istiqamah dalam menapaki jalan Islam yg pure, dan mengemban dakwah Islam ini ke seluruh umat manusia sesuai dg tuntunan Rasulullah SAW. Gak Usah takut dengan makar orang-orang kafir pren...karena u know? Wallahu khairul Makiriin (Allah sebaik2 permbuat makar)....

Saturday, December 31, 2005

Quotes of the Year.....

1. Kalangan Islam radikal sedang berusaha mendirikan "Islamic Empire" yang membentang dari Spanyol hingga Indonesia....(pidato Presiden George W Bush di hadapan kongres AS)
2. Jika kita membiarkan militan Chechnya mengambil alih kekuasaan, maka mereka akan mengembalikan khilafah.....(Vladimir Putin/Presiden Rusia)
3. A report from CIA said that Islamic Caliphate will exist before 2020.....

Monday, September 26, 2005

Tinjauan Faktual terhadap Krisis Rupiah

Akhir-akhir ini, kita dikejutkan dengan berita merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam kurun waktu yang singkat bahkan sampai menembus level Rp 12.000 per 1 dolar. Masyarakat dan pelaku pasar khawatir akan terulangnya krisis ekonomi 1997 yang juga dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah tehadap dolar AS saat itu. Sebagai respon dari anjloknya nilai tukar rupiah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 4 poin kebijakan yang dinilai bisa mengembalikan posisi rupiah ke tingkat semula, namun kebijakan ini disambut dengan rasa pesimis oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak menyentuh inti persoalan, yaitu deficit anggaran.
Bila kita melihat sejarah, melemahnya nilai tukar rupiah merupakan awal dari akan berlangsungnya badai krisis ekonomi yang pada ujung-ujungnya akan bertransformasi menjadi krisis multidimensional. Sejak rupiah jatuh terhadap dolar AS pada tahun 1997 sampai level 15.000, sejak itu pula, Indonesia selalu berada dalam kubangan krisis ekonomi dan rupiah tidak pernah sekalipun kembali pada posisinya semula sebagaimana sebelum krisis. Sistem kurs mengambang (floating rate) yang ditetapkan pemerintah terhadap rupiah memang memungkinkan nilai tukar rupiah untuk berubah-ubah, dimana hal ini sangat bergantung pada mekanisme pasar. Pasar sangat dipengaruhi berbagai variable yang kemudian menentukan persepsi terhadap kurs yang layak, baik dari sisi ekonomi maupun psikologis.
Secara sederhana, naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi karena kelangkaan dolar AS yang beredar di Indonesia, sementara permintaan akan dolar terus meningkat (supply and demand). Pertanyaannya, mengapa terjadi kelangkaan dolar di pasar uang Indonesia? Di era Soeharto, kelangkaan ini dipicu oleh ulah sejumlah spekulan yang memborong dolar dalam jumlah besar di pasar uang Indonesia, sementara saat itu permintaan akan dolar meningkat pesat akibat berkembangnya industri dan program pemerintah yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan. Sekarang, menurut beberapa pengamat, kelangkaan dolar dipicu oleh prilaku para eksportir yang cenderung menyimpan dolar hasil ekspor di luar negeri ketimbang menyimpannya di bank-bank dalam negeri.
Ketua Tim Pembiayaan Pembayaran Infrastruktur Raden Pardede menunjuk dua masalah utama keterpurukan rupiah. Keterlambatan BI menaikkan suku bunga dan tingginya harga minyak yang membengkakkan susbsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga deficit anggaran begitu mengkhawatirkan. Sudah menjadi tradisi, setiap kali The Fed (bank sentral AS) menaikkan suku bunga, nilai tukar rupiah terpukul. Keterlambatan BI menaikkan suku bunga mengakibatkan suku bunga riil di Indonesia menjadi lebih sedikit dibandingkan suku bunga riil AS. Inilah yang menjadi biang aliran dolar ke luar negeri karena tingkat bunga yang diperoleh lebih besar. Persoalan kedua terkait dengan melambungnya harga minyak dunia yang sempat melewati level 70 dolar AS per barel. Hal ini mengakibatkan rangkaian beberapa dampak negative yang berlangsung sekaligus. Pertama, beban anggaran pemerintah untuk subsidi BBM melonjak. Menurut asumsi pemerintah, jika harga minyak mentah 45 dolar AS per barrel dengan nilai tukar Rp 9.300 per dolar AS, beban subsidi BBM tahun ini akan sebesar 76,5 triliun. Tentu beban subsidi akan meningkat dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Kedua,menipisnya produksi minyak Indonesia menyebabkan pemerintah tidak mampu menyediakan stok minyak mentah dengan jumlah memadai untuk konsumsi rakyat Indonesia utamanya dari kalangan industri yang terus meningkat, sehingga untuk menutupi hal ini, pemerintah menaikkan jumlah impor. Realisasi produksi minyak Indonesia tahun 2005, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, hanya mencapai 1,06 juta barel per hari. Lebih rendah 65.000 barrel per hari dari yang ditargetkan sebesar 1,125 juta barrel per hari. Akibatnya, komposisi minyak impor mencapai 40 persen dari konsumsi. Keanggotaan Indonesia di OPEC (organisasi negara-negara pengekspor minyak) sempat dipertanyakan akibat jumlah impor yang hampir sama besarnya dengan jumlah ekspor. Kelangkaan BBM juga diperparah dengan maraknya penyelundupan ke luar negeri. Hasilnya, permintaan terhadap dolar mengalir deras di tengah-tengah persediaan dolar yang menipis. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus merosot. Lebih sial lagi karena rupiah dihajar dari dua sisi sekaligus, yaitu dari dalam dan luar negeri. Di satu sisi, rupiah terseret dampak kenaikan harga minyak dan impor yang harus dilakukan Pertamina. Di sisi lain, pelemahan rupiah juga membuat kebutuhan dolar AS Pertamina, jika dinilai dalam rupiah, meningkat tajam. Anjloknya nilai tukar rupiah tentu akan berdampak pada naiknya harga barang-barang impor yang nanti akan berlanjut dengan naiknya harga semua barang baik impor maupun lokal. Dampak dari semua ini tentu akan semakin memberatkan ekonomi rakyat, utamanya yang tidak mempunyai penghasilan tetap (petani,nelayan,buruh,dsb). Solusi yang diberikan pemerintah untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah meliputi dua aspek. Pertama, di bidang moneter, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), menempuh langkah menaikkan suku bunga. Kedua, di bidang fiskal, pemerintah akan mengurangi bahkan kalau perlu menghapus subsidi BBM sehingga harga BBM di pasaran akan naik (contoh:premium akan naik hingga Rp 6.500/liter). Jika kita mencoba melihat progresi dari rangkaian kejadian di atas, bayangan akan terulangnya krisis ekonomi 1997 menjadi semakin nyata.
Sesungguhnya akar masalah dari segala problem mata uang yang menimpa tidak hanya Indonesia tapi juga seluruh dunia adalah karena dunia secara keseluruhan pada saat ini menggunakan sistem fiat money (unconvertable paper money) yang merupakan produk sistem ekonomi kapitalisme. Fiat money ialah uang kertas yang dikeluarkan pemerintah dan dijadikan sebagai uang utama, namun kertas uang tersebut tidak bisa ditukar dengan emas dan perak dan tidak dijamin dengan cadangan emas dan perak. Emas dan perak dalam hal ini hanya dianggap sebagai barang sebagaimana barang-barang yang lain, yang harganya bisa berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan kondisi supply and demand. Kertas-kertas uang ini tidak dijamin dengan cadangan logam. Jadi kertas-kertas tersebut hanya mempunyai nilai menurut undang-undang dan bukan pada kekuatan hakikinya, juga bukan kekuatan yang disandarkan pada kekuatan hakiki. Namun kertas-kertas uang tersebut hanyalah satuan yang disebut istilah demikian agar bisa dijadikan sebagai alat tukar. Oleh karena itu, undang-undang yang telah memberi kekuatan pada kertas ini sehingga bisa digunakan oleh orang untuk mendapatkan barang dan tenaga. Sehingga kekuatan uang kertas tersebut hakikatnya merupakan kekuatan negara yang mengeluarkannya. Selama uang tersebut dikeluarkan dengan cara seperti ini, tiap negara dapat mengeluarkan uang dengan kriteria tertentu yang dipaksakan ke negara lain agar menerima uang tersebut dengan kadar yang bisa mereka pergunakan untuk mendapatkan barang dan jasa. Sistem fiat money mulai diterapkan oleh negara-negara di dunia pada tahun 1971. Pada waktu itu, Amerika Serikat sebagai pemenang perang dunia II dan penanggung utang negara-negara Eropa melepaskan hubungan antara dolar dengan emas, dan menjadikan dolar AS sebagai mata uang yang menjadi standar perdagangan dunia. Hal ini menyebabkan AS mampu memonopoli perdagangan dunia dan menguasai sumber-sumber daya alam di negeri-negeri lain ditambah dengan berkumpulnya para pemilik modal besar di AS menjadikan AS mampu menancapkan dominasi ekonominya di berbagai negara. Namun sistem fiat money yang disponsori AS ini rupanya mengandung satu kelemahan mendasar, yaitu inflasi. Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum atas barang yang bisa terjadi akibat suplai uang yang berlebihan apalagi jika negara tersebut menganut sistem ekonomi ribawi yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang. Inflasi merupakan masalah umum bagi negara-negara yang menganut sistem fiat money. Pernah suatu ketika, Brazil membuang berton-ton hasil kopinya ke laut demi mencegah inflasi yang meningkat tajam. Selain fiat money yang masuk dalam sistem uang kertas, juga terdapat uang kertas substitusi, yaitu uang kertas yang mencerminkan kadar jumlah emas dan perak yang disimpan di tempat tertentu dan bisa ditukar sesuai permintaan, dan uang kertas yang dijamin.
Adapun mengenai kurs pertukaran mata uang, apabila negara-negara tersebut menggunakan sistem uang emas dan perak dengan sistem uang logam tentu masalahnya menjadi jelas, karena uang yang dipertukarkan esensinya sama yaitu menukar emas dengan emas, yang berbeda mungkin hanya ukiran dan gambar yang tercetak pada uang tersebut. Apabila negara tersebut menganut sistem uang substitusi, maka kondisi negara tersebut persis sama dengan kondisi negara dalam sistem uang logam. Dalam sistem fiat money, dimana pertukaran mata uang terhadap emas dilarang, maka yang terjadi disini ialah pembelian daya beli mata uang terhadap barang-barang. Dengan kata lain, uang dalam fiat money bukan lagi hanya sebagai alat tukar tapi sudah berfungsi juga sebagai barang dagangan. Dengan demikian, manfaat mata uang asing bagi kita sangat bergantung kepada daya beli mata uang tersebut. Contoh,harga suatu barang di Amerika 1 dolar, sementara di Indonesia harga barang tersebut, dengan jenis dan jumlah yang sama Rp 10.000, ini akan membentuk kurs rupiah terhadap dolar yaitu 1 dolar setara 10.000 rupiah. Jika suatu saat harga barang tersebut di Indonesia naik menjadi 15.000 rupiah, akibat kelangkaan misalnya, sementara di AS harga itu masih tetap 1 dolar, maka kurs akan berubah menjadi 1 dolar setara 15.000 rupiah. Demikianlah, kurs pertukaran tersebut bisa berubah mengikuti perubahan harga-harga barang. Apabila tingkat harga-harga di suatu negera naik dibanding negera lain, akibat bertambahnya jumlah uang beredar misalnya, maka kurs pertukaran mata uang antara kedua negara tersebut pasti mengalami perubahan.
Inilah realitas pertukaran mata uang dan realitas pertukaran kurs mata uang. Adapun hukum syara’ mengenai hal ini ialah bahwa Negara Islam akan senantiasa menganut sistem uang emas apakah dengan model uang logam atau uang kertas substitusi. Allah SWT telah menetapkan dalam al-quran mengenai satuan-satuan yang bisa dinyatakan oleh masyarakat untuk memperkirakan nilai barang dan jasa. Ketentuan ini bisa dipahami dari beberapa hal berikut: pertama, ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal) Islam mengkhususkannya pada emas dan perak. Allah SWT berfirman : ”Wallaziina yaknizuuna adz-dzahaba wal fidhdhata wa laa yunfiqunahaa fi sabilillah fa bassyirhum bi adzaabin aliim” (dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah maka kabarkanlah kepada mereka siksa yang pedih). Kedua, Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum baku yang tidak berubah-ubah, misal,Islam mewajibkan membayar diyat dengan ukuran tetentu dalam bentuk emas. Ketiga, Rasulullah SAW menetapkan emas dan perak sebagai uang dan beliau hanya menjadikan standar emas dan perak sebagai standar uang. Keempat, ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, atau menetapkan nishab zakat itu atas emas dan perak. Kelima, hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukakan dengan emas dan perak. Atas kelima dasar inilah, uang dianggap sebagai barang yang telah dijelaskan hukumnya oleh Islam. Pertukaran mata uang di dalam negeri antara mata uang sejenis, harus sama, baik berat maupun jenisnya dan tidak boleh dilebihkan, sebab kelebihannya itu masuk riba yang diharamkan syara’. Sedangkan pertukaran mata uang dengan jenis yang berbeda misal antara emas dengan perak boleh dilebihkan dengan syarat harus kontan. Sedang fiat money, yaitu uang yang tidak dapat ditukarkan dan tidak disandarkan kepada emas dan perak, maka uang tersebut mengambil hukum dari dua jenis uang yang berbeda. Sehingga dalam hal ini boleh melebihkan atau menyamakan kurs pertukarannya dengan syarat sama-sama tunai.
Inilah sistem uang yang telah ditetapkan dalam Islam. Sistem ini bersifat stabil karena memiliki kekuatan hakiki yaitu berupa emas dan perak yang diakui oleh seluruh manusia di dunia. Emas dan perak merupakan logam mulia yang tidak lekang dan hancur oleh zaman. Inflasi hampir tidak akan terjadi dan kalaupun terjadi,persentase kenaikannya akan sangat kecil. Hal ini disebabkan karena uang yang dikeluarkan negara selalu mengacu pada ketersediaan emas dan perak plus negara Islam tidak menganut sistem ekonomi ribawi yang bisa memperparah inflasi. Adapun kurs pertukaran mata uang negara Islam dengan mata uang negara lain,tetap tidak akan mempengaruhi negara Islam karena dua alasan:
Semua bahan mentah yang dibutuhkan negara sudah dipenuhi oleh negeri-negeri Islam, sehingga negara Islam tidak membutuhkan bahan dari negara lain secara vital dan mendesak.
Negara Islam mempunyai barang-barang seperti minyak, yang dibutuhkan oleh seluruh negara di dunia.
Oleh karena itu, negara yang tidak membutuhkan negara lain (karena semua kebutuhan sudah terpenuhi), juga memiliki barang yang dibutuhkan oleh seluruh negara, tentu tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan perubahan kurs tadi. Sebaliknya negara Islam justru mampu menguasai bursa uang dunia, dan tidak ada negara lain yang mampu berkuasa dengan mata uangnya, termasuk dolar AS yang merajai dunia saat ini. Dengan kata lain, solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan krisis mata uang yang telah menimpa negeri kita selama bertahun-tahun tiada lain kecuali merombak total sistem ekonomi dan keuangan yang ada selama ini kemudian digantikan dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh institusi yang menerapkan Islam tidak hanya ekonomi saja, tapi secara komprehensif untuk seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam bis shawab


Daftar Pustaka:
1. Fokus Kompas, ed.3-9-2005
2. Taqiuddin an-nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif
3. Wikipedia.org

NKRI Harga Mati!!!!!!!

NKRI yang tertulis pada tema di atas bukanlah kepanjangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu akronim yang sangat populer di telinga kita, namun yang saya maksud adalah Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah atau yang lebih dikenal dengan Daulah Khilafah Islamiyah, yaitu suatu kepemimpinan umum atas kaum muslimin di seluruh dunia yang berlandaskan akidah Islam, memberlakukan hukum-hukum Islam, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
Menegakkan khilafah merupakan kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah,niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliah.” Menurut Imam An-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, mati jahiliah adalah mati di atas kesesatan dalam keadaan bermaksiat kepada Allah. Hadits di atas secara pasti menunjukkan bahwa orang yang mati sebelum berbaiat maka dia telah bermaksiat kepada Allah, sementara baiat itu hanya diberikan kepada khalifah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
”Siapa saja yang telah membaiat seorang Imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya,hendaknya ia menaati jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu.”
Hadits di atas secara pasti menunjukkan bahwa baiat itu hanyalah untuk Imam/khalifah dan Imam/khalifah hanya boleh 1 orang/tunggal, bukan 50 lebih sebagaimana jumlah penguasa kaum muslimin sekarang. Selain itu, melaksanakan hukum syara’ dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban yang dibebankan atas kaum muslimin. Allah SWT berfirman:
“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang datang kepadamu…(TQS Al-Maidah:48).
“Dan hendaklah kamu memutuskan di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (TQS Al-Maidah: 49).
Allah SWT mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum Islam secara total dan sempurna, karena Allah SWT sangat mencela orang-orang yang beriman kepada sebagian isi Al-Quran dan mengingkari sebagian yang lain. Allah SWT berfirman tentang keadaan bani Israil yang menyebabkan mereka dilaknat:
“…Apakah kalian beriman kepada sebagian isi kitab dan kalian kafir terhadap sebagian yang lain. Tiada balasan bagi yang berbuat seperti ini kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia, dan di hari kiamat Kami akan mengembalikan kalian pada azab yang sangat pedih…”(TQS Al-Baqarah: 85)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”(TQS Al-Ahzab: 36)
Allah SWT juga mengaitkan pelaksanaan hukum syara’ dengan keimanan. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…”(TQS An-Nisaa: 65).
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(TQS Al-Maidah: 44)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”(TQS Al-Maidah: 45)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”(TQS Al-Maidah: 47)
Ayat-ayat di atas secara tegas dan pasti menunjukkan adanya kewajiban menegakkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, siapakah yang berwenang melaksanakan aturan/hukum di tengah-tengah masyarakat? Jawabnya adalah Negara. Kewajiban melaksanakan hukum syara’ tidak mungkin dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan adanya Negara/khilafah. Kaidah syara’ menyatakan:
”Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan,maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib”
Kesimpulannya, menegakkan Negara yang akan melaksanakan syariat Islam (khilafah) di tengah-tengah masyarakat adalah wajib, sebab tanpa khilafah mustahil hukum-hukum syara bisa terlaksana secara sempurna. Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat mendahulukan pengangkatan seorang khalifah pengganti beliau daripada menguburkan jenazah Rasulullah SAW. Ini menunjukkan Ijma’ Sahabat bahwa mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan masyarakat adalah kewajiban yang paling utama dalam agama (a’zham wajibati ad-din).
Ulama-ulama besar Islam juga telah sepakat mengenai wajibnya mengangkat seorang khalifah. Imam al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,”Mengangkat seorang imam (khalifah) yang akan menjadi penguasa urusan dunia dan pemimpin umat adalah sebuah kewajiban. Dengan itulah agama dapat terjaga dan kekuasaan berjalan sesuai hukum-hukum agama”. An-Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) mengatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa kaum muslim wajib mengangkat seorang khalifah.”. Imam al-Haramain dalam kitabnya Ghiyats al-Umam mengatakan, “Telah terdapat ijma tentang kewajiban mengangkat khalifah yang mengatur kehidupan manusia dengan Islam”. Imam al-Ghazali dalam ungkapannya yang terkenal mengatakan, “Islam huwa ad-din wa ad-daulah (Islam adalah agama dan Negara)”. H. Soelaiman Rasjad, salah seorang ulama terkemuka di Nusantara pada masa kemerdekaan, pernah menjabat sebagai menteri urusan agama pada era colonial Belanda dan pada masa kemerdekaan, dalam kitabnya Fikih Islam memberikan bab khusus untuk membahas persoalan khilafah. Jadi semakin jelaslah bagi kita bahwa mengangkat khalifah atau menegakkan khilafah islamiyah hukumnya wajib. Bahkan kewajiban mengangkat khalifah masuk ke dalam perkara “ma’lum min ad-din bi ad-dharuurah”(sesuatu yang diketahui secara pasti hukumnya dalam agama tanpa satupun perbedaan pendapat. Misalnya salat lima waktu hukumnya wajib. Tidak ada seorangpun ulama yang menyatakan salat lima waktu itu sunnah).
Realitas empiric menunjukkan bahwa tanpa adanya khilafah, kemaksiatan merajalela bahkan melembaga secara sistematis, hukum-hukum Islam dicampakkan dan diganti dengan hukum-hukum sekuler, kaum muslimin mengalami kemiskinan dan keterbelakangan di tengah kekayaan alam negerinya, mereka tertindas dan teraniaya oleh orang-orang kafir tanpa ada yang membela mereka. Di Timur Tengah, terdapat sekitar 200 juta rakyat muslim dengan 13 penguasa yang berbeda, tetapi sungguh ironis, mereka tidak mampu melindungi kaum muslim Palestina yang sejak 1920-an hingga sekarang terusir dari negerinya oleh bangsa perampok bernama Israel yang hanya sekitar 6 juta orang. Ketika kaum muslim di Ambon dan Poso dibantai oleh orang nasrani, pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk membela mereka. Bahkan kaum muslim dari luar daerah konflik ditangkapi dan dilarang masuk oleh karena dianggap memperkeruh suasana padahal mereka ikhlas ingin membela saudara-saudara mereka. Saat tentara Amerika dengan sombongnya menembaki mesjid-mesjid, membunuhi rakyat sipil, serta memerkosa wanita-wanita muslimah di Irak, adakah institusi yang membela mereka? Tidak ada.
Berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslim adalah suatu perbuatan maksiat yang paling besar. Pasalnya, tegaknya hukum-hukum Islam, bahkan eksistensi Islam dan kaum muslimin dalam kancah kehidupan bertumpu padanya. Oleh karena itu, pantaslah kalau kita mengatakan: “NKRI, harga mati”!

Ketaatan pada Penguasa
Memang benar bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menaati penguasanya meskipun dan tidak boleh memisahkan diri darinya meskipun ia berbuat zalim dan maksiat, tetapi hal ini hanya boleh dilakukan selama penguasa memerintah berdasarkan Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalianpun mendoakan mereka. Seburu-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian. “Ditanyakan kepada Rasulullah:”Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?”. Beliau menjawab:”Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)di tengah-tengah kamu sekalian….”(HR.Muslim).
Frasa “menegakkan salat” bermakna menegakkan hukum Islam. Hal ini masuk dalam pembahasan “itlaqul juz’i wa iradatul kulli”(menyebut sebagian tapi yang dimaksud seluruhnya) seperti firman Allah : Fa tahriiru raqabah(maka merdekakanlah budak)(QS Al-Mujadilah: 7). Yang dimaksud adalah memerdekakan budak secara keseluruhan bukan hanya raqabah (lehernya) saja.
Dari hadits Ubadah bin Shamit tentang baiat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan: “…dan hendaklah kami tidak akan merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.”
Yang dimaksudkan bukti di sisi Allah tidak lain dan tidak bukan adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan…”(TQS An-Nisaa: 65)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”(TQS Al-Ahzab: 36)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”(TQS Al-Maidah: 44)
Berdasarkan jama’ (penggabungan) ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, maka yang dimaksud dengan kekufuran yang nyata adalah ketika akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan, karena ruang lingkup pembahasan pada hadits tersebut adalah masalah kekuasaan dan pemerintahan. Bentuk dicampakkannya akidah Islam sebagai dasar Negara adalah dengan tidak melaksanakan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sebab pelaksanaan hukum Islam untuk mengatur urusan dan memecahkan berbagai problematika masyarakat sangat berkaitan erat dengan akidah berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran surah An-Nisaa:65 dan Al-Maidah:44 sebagaimana yang tertera di atas. Ada satu poin penting yang mesti diperhatikan pada kedua hadits di atas serta hadits-hadits lain yang memiliki maksud yang sama, bahwa pada kedua hadits ini, Rasulullah terlebih dahulu menjelaskan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa yang memerintah berdasarkan Islam serta sifat-sifat mereka, kemudian disusul dengan larangan memerangi mereka kecuali mereka menampakkan kekufuran yang nyata dengan tidak lagi menerapkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Jadi ada kondisi tertentu yang menyebabkan mereka diperangi, yaitu karena mereka menerapkan hukum kufur setelah sebelumnya menerapkan hukum Islam. Pada kondisi seperti inilah mereka wajib diperangi. Namun, jika kondisi ini tidak ada, maka para penguasa tersebut(yang memerintah dengan hukum kufur) tidak boleh diperangi. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dialami kaum muslimin sekarang. Generasi kaum muslimin yang hidup saat ini tidak lagi mendapati para penguasa yang menegakkan hukum Islam, yang kemudian mengganti hukum-hukum Islam tersebut dengan hukum-hukum kufur, sehingga kondisi yang mewajibkan kaum muslimin untuk memerangi penguasa tidak ada. Yang kita dapati sekarang adalah penguasa yang telah menerapkan hukum-hukum kufur sudah sejak lama yaitu sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924 di Turki. Oleh karena itu, yang wajib kita lakukan saat ini adalah berusaha melanjutkan kembali kehidupan Islam yang pernah tegak dalam bingkai Daulah Khilafah dengan mengikuti metode dakwah yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada periode Mekkah, yaitu dengan tiga tahapan dakwah, yaitu (1) Tatsqif (pembinaan), (2) Tafaul ma al-ummah (interaksi dengan masyarakat) yang di dalamnya terdapat fase ghazwu al-fikri (pertarungan pemikiran, antara pemikiran Islam dengan pemikiran kufur), dan (3) Istilam al-hukmi (penerapan hukum)
Selain itu, tingkah laku para penguasa kaum muslim sekarang amatlah jauh dari apa yang dituntunkan Rasulullah SAW dan dilakukan para Khulafaur Rasyidin. Sebagai contoh, penguasa-penguasa dunia Arab yang dianggap oleh sebagian kaum muslimin melaksanakan syariat secara kaffah. Apakah anda lupa, para penguasa-penguasa Arab inilah, utamanya Kuwait dan Arab Saudi yang menyediakan landasan bagi pesawat-pesawat Amerika untuk menyerang saudara-saudara mereka di Irak. Ketika wanita-wanita muslimah Irak diperkosa dan rakyat sipil dibantai, mereka tidak bersikap sebagaimana Rasulullah SAW mengusir orang Yahudi dari Madinah karena melecehkan seorang muslimah dan membunuh seorang muslim. Mereka juga mengakui eksistensi Israel dengan terus menyuarakan dialog dan perdamaian antara Israel dan Palestina. Mereka telah mengkhianati Umar bin Khattab yang pernah bersumpah tidak akan membiarkan seorangpun Yahudi menginjakkan kaki di tanah Palestina.

Tentang Demonstrasi
Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Shalih as-Sadlan tentang demonstrasi atau dalam Islam dikenal istilah Masirah merupakan suatu kesimpulan dangkal yang diambil hanya berdasarkan pertimbangan akal dan manfaat semata tanpa memerhatikan dali-dalil syara’ yang memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar yang jumlahnya sangat banyak. Setidaknya ada dua hal dari pendapat beliau yang bertentangan dengan Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijma’ Sahabat.
Pertama, memaknai masirah sebagai suatu bentuk pemberontakan sehingga haram untuk dilakukan. Pendapat ini keliru, sebab masirah adalah satu sarana untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa, dimana hal ini merupakan aktivitas yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, hendaklah kalian memerintahkan kepada kema’fufan dan mencegah dari kemungkaran atau hampir Allah betul-betul memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya, lalu Dia tidak mengabulkan doa kalian” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara massal karena perbuatan orang-orang tertentu (di antara mereka, kecuali kalau mereka melihat kemungkaran di depan mata mereka, mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengazab orang (yang melakukan) itu beserta semua orang yang ada secara massal” (HR. Ahmad)
”Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR Muslim).
Islam yang mulia telah mewajibkan amar makruf nahi munkar jika terdapat kemungkaran di tengah-tengah kita. Saat ini, kemungkaran telah mewujud dengan sangat gamblang di tengah-tengah kita berupa diterapkannya hukum-hukum kufur dalam mengatur urusan masyarakat, minuman keras diperdagangkan, perzinaan merajalela, salat ditinggalkan, dsb. Semua orang yang paham akan agama tentu sangat sadar akan rusaknya pemerintahan di negeri-megeri muslim saat ini. Apakah kita ingin Allah SWT mengazab kita, tidak menerima doa kita, dan menggelari kita sebagai orang yang lemah imannya, karena kita membiarkan kemungkaran itu terjadi begitu saja di depan mata kita tanpa pernah mengritiknya???
Kedua, melarang aktivitas kritik atau masirah kepada penguasa karena khawatir akan akibat yang ditimbulkan. Rasulullah SAW bersabda:
Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim. (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa'i dan Al-Baihaqi).
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu memerintahkannya (berbuat ma’ruf) dan mencegahnya (berbuat mungkar), lalu penguasa itu membunuhnya”(HR. Hakim dari Jabir)
Hadits ini secara tegas menyebutkan bahwa jihad yang utama adalah menyampaikan hal yang benar di depan penguasa yang zalim. Tidak disebutkan harus dengan sembunyi-sembunyi atau di ruang tertutup. Sehingga menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang zalim bisa dengan beragam cara, yang penting efektif, komunikatif dan pesannya bisa sampai. Jadi sesungguhnya siapakah yang lebih mulia??? Orang yang mati atau dipenjara karena mengritik penguasa atau orang yang hanya berdiam diri melihat penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa? Sebagai orang yang berakal, anda pasti tahu jawabannya.
Dari realitas sejarah Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam sirah Nabawiyah, beliau dengan para sahabatnya pernah melakukan masirah, meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. Aksi itu mereka lakukan di jalan-jalan di kota Mekkah hingga depan ka'bah saat disyariatkan dakwah jahriyah (dakwah secara terang-terangan).
Selain itu, di masa Madinah pun para sahabatnya pernah melakukan masirah sambil melakukan Thawaf Qudum, yaitu setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Mereka melakukan aksi untuk memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan). Saati itu mereka memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba') sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakan saat itu, "Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)."
Dan menyampaikan kebenaran atau keberatan di muka umum pada hakikatnya bukan hal yang tabu. Sebab di masa Rasulullah hal itu bisaa terjadi dan bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Silakan bukan surat Al-Mujadilah yang mengisahkan bagaimana seorang wanita melakukannya di hadapan Rasulullah SAW.
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Mujadilah: 1)
Juga tentang seorang wanita memprotes aturan yang dibuat oleh khalifah Umar bin Al-Khattab, karena memberikan batasan maksimal untuk mahar. Protes itu dilakukan ketika khalifah sedang berkhutbah dan beliau pun menyatakan bahwa protes itu diterima dan aturan itu lantas dibatalkan. Peristiwa ini menjelaskan kepada kita bahwa menyampaikan pendapat dan kritik kepada penguasa bukanlah hal yang tabu dan boleh saja dilakukan secara terbuka. Wanita ini mengritik Umar karena menetapkan batas maksimal mahar yang dianggap tidak adil oleh si Wanita tadi. Jika dalam perkara pelaksanaan hukum syara’ saja penguasa boleh dikritik, tentu saat sekarang dimana penguasa menerapkan hukum kufur lebih boleh lagi untuk dikritik, bahkan wajib hukumnya. Namun demikian, karena al-Qur,an dan Sunnah telah turun secara sempurna, maka kaum muslim yang melakukan masirah mesti memperhatikan hukum-hukum lain yang berhubungan erat dengan penggunaan aktivitas umum (jalan raya yang digunakan masirah), dan adab-adab ketika berada di jalan raya. Dengan kata lain, masirah harus tetap memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:1. Harus menyuarakan gagasan Islam, dan kemashlahatan kaum muslim. Tidak boleh menyerukan gagasan-gagasan bathil dan bertentangan dengan akidah Islam.2. Tidak merusak kepemilikan umum, menimbulkan kemacetan, atau mengganggu para pengguna jalan yang lain. Tidak boleh duduk-duduk, atau memblokade jalan raya, membakar ban bekas sehingga terjadi kemacetan total. Sebab, ini bertentangan fungsi dari jalan raya yang digunakan untuk berjalan.3. Harus tetap memperhatikan adab-adab ketika berada di jalan raya.Dalam menentukan hukum suatu perbuatan tidak bisa hanya didasarkan pada secuil hadits atau sepenggal ayat Al-Qur'an saja. Tetapi harus melalui proses ilmiah dengan melakukan penelitian mendetail serta menyeluruh pada semua dalil yang ada. Dan semua proses itu hanya bisa dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi standar dan kualifikasi minimal dalam berijtihad. Tentu saja dengan menggunakan metodologi ijtihad yang muktabar dan diakui di dunia ijtihad itu sendiri. Terburu-buru mengambil kesimpulan hukum dengan hanya bermodalkan sepotong dalil adalah sebuah kebodohan yang hanya akan mengakibatkan kerancuan. Bahkan akan membuktikan kepada publik bahwa si pemberi fatwa itu tidak punya kapasitas yang memenuhi syarat dalam ilmu syariah.Bila sebuah fatwa sudah dikeluarkan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat, belum tentu apa yang difatwakannya 100% benar. Sebab bisa saja ada pendapat dan fatwa lainnya yang juga punya dasar ilmiah yang mungkin lebih baik lagi namun kesimpulannya berbeda. Dan perbedaan di kalangan ulama ahli syariah adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin terelakkan. Sudah terjadi sejak Nabi SAW masih hidup di kalangan para shahabat yang Allah meridhainya. Akhir kata, kita selalu berdoa kepada Allah agar senantiasa berada dalam kebenaran Islam dan memperjuangkan Islam hingga akhir hayat.

Friday, August 19, 2005

Saatnya Bersatu--Refleksi 60 tahun kemerdekaan (semu)

Akhirnya MoU antara RI dan GAM ditandangatangani oleh kedua pihak 16 Agustus lalu. Walaupun mayoritas masyarakat mensyukuri MoU tersebut, kita tetap perlu waspada. Tsunami Aceh telah berhasilkan memperlihatkan bagaimana rakyat Indonesia membantu saudara-saudaranya di Aceh sekaligus memperlihatkan ketidakmampuan GAM akibat semakin terdesak oleh TNI.
Dalam situasi seperti inilah kemudian terjadi perundingan damai antara GAM dan RI yang disponsori negara-negara barat. Kita patut curiga jika masa damai ini dimanfaatkan oleh GAM untuk konsolidasi kekuatan setelah sebelumnya didesak oleh TNI ke gunung-gunung. GAM hanyalah kaum pemberontak yang mestinya ditumpas habis. Kita juga patut curiga akan adanya agenda barat untuk menceraiberaikan Indonesia, apalagi MoU ini diperantarai oleh negara-negara barat dengan Aceh Monitoring Mission (AMM) yang memiliki otoritas untuk keluar masuk Aceh. Belum lagi isu Papua yang sengaja diembuskan anggota kongres AS untuk melihat reaksi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Papua pada khususnya. Atas provokasi anggota kongres AS tersebut,terjadi aksi mengembalikan otonomi khusus (otsus) yang dilakukan oleh sebagian masyarakat papua.
Nampak memang bahwa salah satu agenda barat yang disponsori AS adalah memecah belah negeri-negeri muslim dan mencegah mereka untuk bersatu. Indonesia sebagai negeri muslim terbesar yang berpotensi menjadi "threat" bagi AS selalu berusaha dipecah-pecah, mulai dari kasus Tim-tim,Aceh,Papua,RMS. Kebijakan pemerintah yang selalu didikte oleh AS juga semakin nyata. Kasus kenaikan BBM, tarif dasar listrik,dan tidak lama lagi menyusul ialah naiknya tarif air akibat di sahkannya UU Sumber Daya Air yang menjadikan air sebagai komoditas dagang. Pada kasus GAM dapat dilihat bagaimana Pemerintah yang sebenarnya sudah di atas angin karena berhasil mendesak GAM akhirnya berunding duduk setara dengan pemberontak atas desakan AS dan Uni Eropa. Negeri-negeri muslim hanya bisa bangkit melawan dominasi AS dan sekutu-sekutunya jika mereka seluruhnya bersatu dalam satu institusi khilafah yang akan menghancurkan segala macam bentuk kemungkaran dan mengembalikan Islam dan kaum muslim ke derajat tertinggi sebagaimana yang seharusnya....Wallahu a'lam bishawab