FreeDoM FighTeR

Monday, September 26, 2005

NKRI Harga Mati!!!!!!!

NKRI yang tertulis pada tema di atas bukanlah kepanjangan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu akronim yang sangat populer di telinga kita, namun yang saya maksud adalah Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah atau yang lebih dikenal dengan Daulah Khilafah Islamiyah, yaitu suatu kepemimpinan umum atas kaum muslimin di seluruh dunia yang berlandaskan akidah Islam, memberlakukan hukum-hukum Islam, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
Menegakkan khilafah merupakan kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah,niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliah.” Menurut Imam An-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, mati jahiliah adalah mati di atas kesesatan dalam keadaan bermaksiat kepada Allah. Hadits di atas secara pasti menunjukkan bahwa orang yang mati sebelum berbaiat maka dia telah bermaksiat kepada Allah, sementara baiat itu hanya diberikan kepada khalifah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
”Siapa saja yang telah membaiat seorang Imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya,hendaknya ia menaati jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu.”
Hadits di atas secara pasti menunjukkan bahwa baiat itu hanyalah untuk Imam/khalifah dan Imam/khalifah hanya boleh 1 orang/tunggal, bukan 50 lebih sebagaimana jumlah penguasa kaum muslimin sekarang. Selain itu, melaksanakan hukum syara’ dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban yang dibebankan atas kaum muslimin. Allah SWT berfirman:
“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang datang kepadamu…(TQS Al-Maidah:48).
“Dan hendaklah kamu memutuskan di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (TQS Al-Maidah: 49).
Allah SWT mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum Islam secara total dan sempurna, karena Allah SWT sangat mencela orang-orang yang beriman kepada sebagian isi Al-Quran dan mengingkari sebagian yang lain. Allah SWT berfirman tentang keadaan bani Israil yang menyebabkan mereka dilaknat:
“…Apakah kalian beriman kepada sebagian isi kitab dan kalian kafir terhadap sebagian yang lain. Tiada balasan bagi yang berbuat seperti ini kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia, dan di hari kiamat Kami akan mengembalikan kalian pada azab yang sangat pedih…”(TQS Al-Baqarah: 85)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”(TQS Al-Ahzab: 36)
Allah SWT juga mengaitkan pelaksanaan hukum syara’ dengan keimanan. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…”(TQS An-Nisaa: 65).
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(TQS Al-Maidah: 44)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”(TQS Al-Maidah: 45)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”(TQS Al-Maidah: 47)
Ayat-ayat di atas secara tegas dan pasti menunjukkan adanya kewajiban menegakkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, siapakah yang berwenang melaksanakan aturan/hukum di tengah-tengah masyarakat? Jawabnya adalah Negara. Kewajiban melaksanakan hukum syara’ tidak mungkin dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan adanya Negara/khilafah. Kaidah syara’ menyatakan:
”Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan,maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib”
Kesimpulannya, menegakkan Negara yang akan melaksanakan syariat Islam (khilafah) di tengah-tengah masyarakat adalah wajib, sebab tanpa khilafah mustahil hukum-hukum syara bisa terlaksana secara sempurna. Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat mendahulukan pengangkatan seorang khalifah pengganti beliau daripada menguburkan jenazah Rasulullah SAW. Ini menunjukkan Ijma’ Sahabat bahwa mengangkat seorang khalifah yang akan mengatur urusan masyarakat adalah kewajiban yang paling utama dalam agama (a’zham wajibati ad-din).
Ulama-ulama besar Islam juga telah sepakat mengenai wajibnya mengangkat seorang khalifah. Imam al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,”Mengangkat seorang imam (khalifah) yang akan menjadi penguasa urusan dunia dan pemimpin umat adalah sebuah kewajiban. Dengan itulah agama dapat terjaga dan kekuasaan berjalan sesuai hukum-hukum agama”. An-Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) mengatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa kaum muslim wajib mengangkat seorang khalifah.”. Imam al-Haramain dalam kitabnya Ghiyats al-Umam mengatakan, “Telah terdapat ijma tentang kewajiban mengangkat khalifah yang mengatur kehidupan manusia dengan Islam”. Imam al-Ghazali dalam ungkapannya yang terkenal mengatakan, “Islam huwa ad-din wa ad-daulah (Islam adalah agama dan Negara)”. H. Soelaiman Rasjad, salah seorang ulama terkemuka di Nusantara pada masa kemerdekaan, pernah menjabat sebagai menteri urusan agama pada era colonial Belanda dan pada masa kemerdekaan, dalam kitabnya Fikih Islam memberikan bab khusus untuk membahas persoalan khilafah. Jadi semakin jelaslah bagi kita bahwa mengangkat khalifah atau menegakkan khilafah islamiyah hukumnya wajib. Bahkan kewajiban mengangkat khalifah masuk ke dalam perkara “ma’lum min ad-din bi ad-dharuurah”(sesuatu yang diketahui secara pasti hukumnya dalam agama tanpa satupun perbedaan pendapat. Misalnya salat lima waktu hukumnya wajib. Tidak ada seorangpun ulama yang menyatakan salat lima waktu itu sunnah).
Realitas empiric menunjukkan bahwa tanpa adanya khilafah, kemaksiatan merajalela bahkan melembaga secara sistematis, hukum-hukum Islam dicampakkan dan diganti dengan hukum-hukum sekuler, kaum muslimin mengalami kemiskinan dan keterbelakangan di tengah kekayaan alam negerinya, mereka tertindas dan teraniaya oleh orang-orang kafir tanpa ada yang membela mereka. Di Timur Tengah, terdapat sekitar 200 juta rakyat muslim dengan 13 penguasa yang berbeda, tetapi sungguh ironis, mereka tidak mampu melindungi kaum muslim Palestina yang sejak 1920-an hingga sekarang terusir dari negerinya oleh bangsa perampok bernama Israel yang hanya sekitar 6 juta orang. Ketika kaum muslim di Ambon dan Poso dibantai oleh orang nasrani, pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk membela mereka. Bahkan kaum muslim dari luar daerah konflik ditangkapi dan dilarang masuk oleh karena dianggap memperkeruh suasana padahal mereka ikhlas ingin membela saudara-saudara mereka. Saat tentara Amerika dengan sombongnya menembaki mesjid-mesjid, membunuhi rakyat sipil, serta memerkosa wanita-wanita muslimah di Irak, adakah institusi yang membela mereka? Tidak ada.
Berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslim adalah suatu perbuatan maksiat yang paling besar. Pasalnya, tegaknya hukum-hukum Islam, bahkan eksistensi Islam dan kaum muslimin dalam kancah kehidupan bertumpu padanya. Oleh karena itu, pantaslah kalau kita mengatakan: “NKRI, harga mati”!

Ketaatan pada Penguasa
Memang benar bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menaati penguasanya meskipun dan tidak boleh memisahkan diri darinya meskipun ia berbuat zalim dan maksiat, tetapi hal ini hanya boleh dilakukan selama penguasa memerintah berdasarkan Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalianpun mendoakan mereka. Seburu-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian. “Ditanyakan kepada Rasulullah:”Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?”. Beliau menjawab:”Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)di tengah-tengah kamu sekalian….”(HR.Muslim).
Frasa “menegakkan salat” bermakna menegakkan hukum Islam. Hal ini masuk dalam pembahasan “itlaqul juz’i wa iradatul kulli”(menyebut sebagian tapi yang dimaksud seluruhnya) seperti firman Allah : Fa tahriiru raqabah(maka merdekakanlah budak)(QS Al-Mujadilah: 7). Yang dimaksud adalah memerdekakan budak secara keseluruhan bukan hanya raqabah (lehernya) saja.
Dari hadits Ubadah bin Shamit tentang baiat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan: “…dan hendaklah kami tidak akan merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.”
Yang dimaksudkan bukti di sisi Allah tidak lain dan tidak bukan adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan…”(TQS An-Nisaa: 65)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”(TQS Al-Ahzab: 36)
“…Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”(TQS Al-Maidah: 44)
Berdasarkan jama’ (penggabungan) ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, maka yang dimaksud dengan kekufuran yang nyata adalah ketika akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan, karena ruang lingkup pembahasan pada hadits tersebut adalah masalah kekuasaan dan pemerintahan. Bentuk dicampakkannya akidah Islam sebagai dasar Negara adalah dengan tidak melaksanakan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sebab pelaksanaan hukum Islam untuk mengatur urusan dan memecahkan berbagai problematika masyarakat sangat berkaitan erat dengan akidah berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran surah An-Nisaa:65 dan Al-Maidah:44 sebagaimana yang tertera di atas. Ada satu poin penting yang mesti diperhatikan pada kedua hadits di atas serta hadits-hadits lain yang memiliki maksud yang sama, bahwa pada kedua hadits ini, Rasulullah terlebih dahulu menjelaskan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa yang memerintah berdasarkan Islam serta sifat-sifat mereka, kemudian disusul dengan larangan memerangi mereka kecuali mereka menampakkan kekufuran yang nyata dengan tidak lagi menerapkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Jadi ada kondisi tertentu yang menyebabkan mereka diperangi, yaitu karena mereka menerapkan hukum kufur setelah sebelumnya menerapkan hukum Islam. Pada kondisi seperti inilah mereka wajib diperangi. Namun, jika kondisi ini tidak ada, maka para penguasa tersebut(yang memerintah dengan hukum kufur) tidak boleh diperangi. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dialami kaum muslimin sekarang. Generasi kaum muslimin yang hidup saat ini tidak lagi mendapati para penguasa yang menegakkan hukum Islam, yang kemudian mengganti hukum-hukum Islam tersebut dengan hukum-hukum kufur, sehingga kondisi yang mewajibkan kaum muslimin untuk memerangi penguasa tidak ada. Yang kita dapati sekarang adalah penguasa yang telah menerapkan hukum-hukum kufur sudah sejak lama yaitu sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924 di Turki. Oleh karena itu, yang wajib kita lakukan saat ini adalah berusaha melanjutkan kembali kehidupan Islam yang pernah tegak dalam bingkai Daulah Khilafah dengan mengikuti metode dakwah yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada periode Mekkah, yaitu dengan tiga tahapan dakwah, yaitu (1) Tatsqif (pembinaan), (2) Tafaul ma al-ummah (interaksi dengan masyarakat) yang di dalamnya terdapat fase ghazwu al-fikri (pertarungan pemikiran, antara pemikiran Islam dengan pemikiran kufur), dan (3) Istilam al-hukmi (penerapan hukum)
Selain itu, tingkah laku para penguasa kaum muslim sekarang amatlah jauh dari apa yang dituntunkan Rasulullah SAW dan dilakukan para Khulafaur Rasyidin. Sebagai contoh, penguasa-penguasa dunia Arab yang dianggap oleh sebagian kaum muslimin melaksanakan syariat secara kaffah. Apakah anda lupa, para penguasa-penguasa Arab inilah, utamanya Kuwait dan Arab Saudi yang menyediakan landasan bagi pesawat-pesawat Amerika untuk menyerang saudara-saudara mereka di Irak. Ketika wanita-wanita muslimah Irak diperkosa dan rakyat sipil dibantai, mereka tidak bersikap sebagaimana Rasulullah SAW mengusir orang Yahudi dari Madinah karena melecehkan seorang muslimah dan membunuh seorang muslim. Mereka juga mengakui eksistensi Israel dengan terus menyuarakan dialog dan perdamaian antara Israel dan Palestina. Mereka telah mengkhianati Umar bin Khattab yang pernah bersumpah tidak akan membiarkan seorangpun Yahudi menginjakkan kaki di tanah Palestina.

Tentang Demonstrasi
Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Shalih as-Sadlan tentang demonstrasi atau dalam Islam dikenal istilah Masirah merupakan suatu kesimpulan dangkal yang diambil hanya berdasarkan pertimbangan akal dan manfaat semata tanpa memerhatikan dali-dalil syara’ yang memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar yang jumlahnya sangat banyak. Setidaknya ada dua hal dari pendapat beliau yang bertentangan dengan Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijma’ Sahabat.
Pertama, memaknai masirah sebagai suatu bentuk pemberontakan sehingga haram untuk dilakukan. Pendapat ini keliru, sebab masirah adalah satu sarana untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa, dimana hal ini merupakan aktivitas yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, hendaklah kalian memerintahkan kepada kema’fufan dan mencegah dari kemungkaran atau hampir Allah betul-betul memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya, lalu Dia tidak mengabulkan doa kalian” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara massal karena perbuatan orang-orang tertentu (di antara mereka, kecuali kalau mereka melihat kemungkaran di depan mata mereka, mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengazab orang (yang melakukan) itu beserta semua orang yang ada secara massal” (HR. Ahmad)
”Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR Muslim).
Islam yang mulia telah mewajibkan amar makruf nahi munkar jika terdapat kemungkaran di tengah-tengah kita. Saat ini, kemungkaran telah mewujud dengan sangat gamblang di tengah-tengah kita berupa diterapkannya hukum-hukum kufur dalam mengatur urusan masyarakat, minuman keras diperdagangkan, perzinaan merajalela, salat ditinggalkan, dsb. Semua orang yang paham akan agama tentu sangat sadar akan rusaknya pemerintahan di negeri-megeri muslim saat ini. Apakah kita ingin Allah SWT mengazab kita, tidak menerima doa kita, dan menggelari kita sebagai orang yang lemah imannya, karena kita membiarkan kemungkaran itu terjadi begitu saja di depan mata kita tanpa pernah mengritiknya???
Kedua, melarang aktivitas kritik atau masirah kepada penguasa karena khawatir akan akibat yang ditimbulkan. Rasulullah SAW bersabda:
Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim. (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa'i dan Al-Baihaqi).
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu memerintahkannya (berbuat ma’ruf) dan mencegahnya (berbuat mungkar), lalu penguasa itu membunuhnya”(HR. Hakim dari Jabir)
Hadits ini secara tegas menyebutkan bahwa jihad yang utama adalah menyampaikan hal yang benar di depan penguasa yang zalim. Tidak disebutkan harus dengan sembunyi-sembunyi atau di ruang tertutup. Sehingga menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang zalim bisa dengan beragam cara, yang penting efektif, komunikatif dan pesannya bisa sampai. Jadi sesungguhnya siapakah yang lebih mulia??? Orang yang mati atau dipenjara karena mengritik penguasa atau orang yang hanya berdiam diri melihat penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa? Sebagai orang yang berakal, anda pasti tahu jawabannya.
Dari realitas sejarah Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dalam sirah Nabawiyah, beliau dengan para sahabatnya pernah melakukan masirah, meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. Aksi itu mereka lakukan di jalan-jalan di kota Mekkah hingga depan ka'bah saat disyariatkan dakwah jahriyah (dakwah secara terang-terangan).
Selain itu, di masa Madinah pun para sahabatnya pernah melakukan masirah sambil melakukan Thawaf Qudum, yaitu setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Mereka melakukan aksi untuk memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan). Saati itu mereka memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba') sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakan saat itu, "Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)."
Dan menyampaikan kebenaran atau keberatan di muka umum pada hakikatnya bukan hal yang tabu. Sebab di masa Rasulullah hal itu bisaa terjadi dan bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Silakan bukan surat Al-Mujadilah yang mengisahkan bagaimana seorang wanita melakukannya di hadapan Rasulullah SAW.
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Mujadilah: 1)
Juga tentang seorang wanita memprotes aturan yang dibuat oleh khalifah Umar bin Al-Khattab, karena memberikan batasan maksimal untuk mahar. Protes itu dilakukan ketika khalifah sedang berkhutbah dan beliau pun menyatakan bahwa protes itu diterima dan aturan itu lantas dibatalkan. Peristiwa ini menjelaskan kepada kita bahwa menyampaikan pendapat dan kritik kepada penguasa bukanlah hal yang tabu dan boleh saja dilakukan secara terbuka. Wanita ini mengritik Umar karena menetapkan batas maksimal mahar yang dianggap tidak adil oleh si Wanita tadi. Jika dalam perkara pelaksanaan hukum syara’ saja penguasa boleh dikritik, tentu saat sekarang dimana penguasa menerapkan hukum kufur lebih boleh lagi untuk dikritik, bahkan wajib hukumnya. Namun demikian, karena al-Qur,an dan Sunnah telah turun secara sempurna, maka kaum muslim yang melakukan masirah mesti memperhatikan hukum-hukum lain yang berhubungan erat dengan penggunaan aktivitas umum (jalan raya yang digunakan masirah), dan adab-adab ketika berada di jalan raya. Dengan kata lain, masirah harus tetap memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:1. Harus menyuarakan gagasan Islam, dan kemashlahatan kaum muslim. Tidak boleh menyerukan gagasan-gagasan bathil dan bertentangan dengan akidah Islam.2. Tidak merusak kepemilikan umum, menimbulkan kemacetan, atau mengganggu para pengguna jalan yang lain. Tidak boleh duduk-duduk, atau memblokade jalan raya, membakar ban bekas sehingga terjadi kemacetan total. Sebab, ini bertentangan fungsi dari jalan raya yang digunakan untuk berjalan.3. Harus tetap memperhatikan adab-adab ketika berada di jalan raya.Dalam menentukan hukum suatu perbuatan tidak bisa hanya didasarkan pada secuil hadits atau sepenggal ayat Al-Qur'an saja. Tetapi harus melalui proses ilmiah dengan melakukan penelitian mendetail serta menyeluruh pada semua dalil yang ada. Dan semua proses itu hanya bisa dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi standar dan kualifikasi minimal dalam berijtihad. Tentu saja dengan menggunakan metodologi ijtihad yang muktabar dan diakui di dunia ijtihad itu sendiri. Terburu-buru mengambil kesimpulan hukum dengan hanya bermodalkan sepotong dalil adalah sebuah kebodohan yang hanya akan mengakibatkan kerancuan. Bahkan akan membuktikan kepada publik bahwa si pemberi fatwa itu tidak punya kapasitas yang memenuhi syarat dalam ilmu syariah.Bila sebuah fatwa sudah dikeluarkan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat, belum tentu apa yang difatwakannya 100% benar. Sebab bisa saja ada pendapat dan fatwa lainnya yang juga punya dasar ilmiah yang mungkin lebih baik lagi namun kesimpulannya berbeda. Dan perbedaan di kalangan ulama ahli syariah adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin terelakkan. Sudah terjadi sejak Nabi SAW masih hidup di kalangan para shahabat yang Allah meridhainya. Akhir kata, kita selalu berdoa kepada Allah agar senantiasa berada dalam kebenaran Islam dan memperjuangkan Islam hingga akhir hayat.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home