FreeDoM FighTeR

Monday, September 26, 2005

Tinjauan Faktual terhadap Krisis Rupiah

Akhir-akhir ini, kita dikejutkan dengan berita merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam kurun waktu yang singkat bahkan sampai menembus level Rp 12.000 per 1 dolar. Masyarakat dan pelaku pasar khawatir akan terulangnya krisis ekonomi 1997 yang juga dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah tehadap dolar AS saat itu. Sebagai respon dari anjloknya nilai tukar rupiah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 4 poin kebijakan yang dinilai bisa mengembalikan posisi rupiah ke tingkat semula, namun kebijakan ini disambut dengan rasa pesimis oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak menyentuh inti persoalan, yaitu deficit anggaran.
Bila kita melihat sejarah, melemahnya nilai tukar rupiah merupakan awal dari akan berlangsungnya badai krisis ekonomi yang pada ujung-ujungnya akan bertransformasi menjadi krisis multidimensional. Sejak rupiah jatuh terhadap dolar AS pada tahun 1997 sampai level 15.000, sejak itu pula, Indonesia selalu berada dalam kubangan krisis ekonomi dan rupiah tidak pernah sekalipun kembali pada posisinya semula sebagaimana sebelum krisis. Sistem kurs mengambang (floating rate) yang ditetapkan pemerintah terhadap rupiah memang memungkinkan nilai tukar rupiah untuk berubah-ubah, dimana hal ini sangat bergantung pada mekanisme pasar. Pasar sangat dipengaruhi berbagai variable yang kemudian menentukan persepsi terhadap kurs yang layak, baik dari sisi ekonomi maupun psikologis.
Secara sederhana, naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi karena kelangkaan dolar AS yang beredar di Indonesia, sementara permintaan akan dolar terus meningkat (supply and demand). Pertanyaannya, mengapa terjadi kelangkaan dolar di pasar uang Indonesia? Di era Soeharto, kelangkaan ini dipicu oleh ulah sejumlah spekulan yang memborong dolar dalam jumlah besar di pasar uang Indonesia, sementara saat itu permintaan akan dolar meningkat pesat akibat berkembangnya industri dan program pemerintah yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan. Sekarang, menurut beberapa pengamat, kelangkaan dolar dipicu oleh prilaku para eksportir yang cenderung menyimpan dolar hasil ekspor di luar negeri ketimbang menyimpannya di bank-bank dalam negeri.
Ketua Tim Pembiayaan Pembayaran Infrastruktur Raden Pardede menunjuk dua masalah utama keterpurukan rupiah. Keterlambatan BI menaikkan suku bunga dan tingginya harga minyak yang membengkakkan susbsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga deficit anggaran begitu mengkhawatirkan. Sudah menjadi tradisi, setiap kali The Fed (bank sentral AS) menaikkan suku bunga, nilai tukar rupiah terpukul. Keterlambatan BI menaikkan suku bunga mengakibatkan suku bunga riil di Indonesia menjadi lebih sedikit dibandingkan suku bunga riil AS. Inilah yang menjadi biang aliran dolar ke luar negeri karena tingkat bunga yang diperoleh lebih besar. Persoalan kedua terkait dengan melambungnya harga minyak dunia yang sempat melewati level 70 dolar AS per barel. Hal ini mengakibatkan rangkaian beberapa dampak negative yang berlangsung sekaligus. Pertama, beban anggaran pemerintah untuk subsidi BBM melonjak. Menurut asumsi pemerintah, jika harga minyak mentah 45 dolar AS per barrel dengan nilai tukar Rp 9.300 per dolar AS, beban subsidi BBM tahun ini akan sebesar 76,5 triliun. Tentu beban subsidi akan meningkat dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Kedua,menipisnya produksi minyak Indonesia menyebabkan pemerintah tidak mampu menyediakan stok minyak mentah dengan jumlah memadai untuk konsumsi rakyat Indonesia utamanya dari kalangan industri yang terus meningkat, sehingga untuk menutupi hal ini, pemerintah menaikkan jumlah impor. Realisasi produksi minyak Indonesia tahun 2005, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, hanya mencapai 1,06 juta barel per hari. Lebih rendah 65.000 barrel per hari dari yang ditargetkan sebesar 1,125 juta barrel per hari. Akibatnya, komposisi minyak impor mencapai 40 persen dari konsumsi. Keanggotaan Indonesia di OPEC (organisasi negara-negara pengekspor minyak) sempat dipertanyakan akibat jumlah impor yang hampir sama besarnya dengan jumlah ekspor. Kelangkaan BBM juga diperparah dengan maraknya penyelundupan ke luar negeri. Hasilnya, permintaan terhadap dolar mengalir deras di tengah-tengah persediaan dolar yang menipis. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus merosot. Lebih sial lagi karena rupiah dihajar dari dua sisi sekaligus, yaitu dari dalam dan luar negeri. Di satu sisi, rupiah terseret dampak kenaikan harga minyak dan impor yang harus dilakukan Pertamina. Di sisi lain, pelemahan rupiah juga membuat kebutuhan dolar AS Pertamina, jika dinilai dalam rupiah, meningkat tajam. Anjloknya nilai tukar rupiah tentu akan berdampak pada naiknya harga barang-barang impor yang nanti akan berlanjut dengan naiknya harga semua barang baik impor maupun lokal. Dampak dari semua ini tentu akan semakin memberatkan ekonomi rakyat, utamanya yang tidak mempunyai penghasilan tetap (petani,nelayan,buruh,dsb). Solusi yang diberikan pemerintah untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah meliputi dua aspek. Pertama, di bidang moneter, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), menempuh langkah menaikkan suku bunga. Kedua, di bidang fiskal, pemerintah akan mengurangi bahkan kalau perlu menghapus subsidi BBM sehingga harga BBM di pasaran akan naik (contoh:premium akan naik hingga Rp 6.500/liter). Jika kita mencoba melihat progresi dari rangkaian kejadian di atas, bayangan akan terulangnya krisis ekonomi 1997 menjadi semakin nyata.
Sesungguhnya akar masalah dari segala problem mata uang yang menimpa tidak hanya Indonesia tapi juga seluruh dunia adalah karena dunia secara keseluruhan pada saat ini menggunakan sistem fiat money (unconvertable paper money) yang merupakan produk sistem ekonomi kapitalisme. Fiat money ialah uang kertas yang dikeluarkan pemerintah dan dijadikan sebagai uang utama, namun kertas uang tersebut tidak bisa ditukar dengan emas dan perak dan tidak dijamin dengan cadangan emas dan perak. Emas dan perak dalam hal ini hanya dianggap sebagai barang sebagaimana barang-barang yang lain, yang harganya bisa berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan kondisi supply and demand. Kertas-kertas uang ini tidak dijamin dengan cadangan logam. Jadi kertas-kertas tersebut hanya mempunyai nilai menurut undang-undang dan bukan pada kekuatan hakikinya, juga bukan kekuatan yang disandarkan pada kekuatan hakiki. Namun kertas-kertas uang tersebut hanyalah satuan yang disebut istilah demikian agar bisa dijadikan sebagai alat tukar. Oleh karena itu, undang-undang yang telah memberi kekuatan pada kertas ini sehingga bisa digunakan oleh orang untuk mendapatkan barang dan tenaga. Sehingga kekuatan uang kertas tersebut hakikatnya merupakan kekuatan negara yang mengeluarkannya. Selama uang tersebut dikeluarkan dengan cara seperti ini, tiap negara dapat mengeluarkan uang dengan kriteria tertentu yang dipaksakan ke negara lain agar menerima uang tersebut dengan kadar yang bisa mereka pergunakan untuk mendapatkan barang dan jasa. Sistem fiat money mulai diterapkan oleh negara-negara di dunia pada tahun 1971. Pada waktu itu, Amerika Serikat sebagai pemenang perang dunia II dan penanggung utang negara-negara Eropa melepaskan hubungan antara dolar dengan emas, dan menjadikan dolar AS sebagai mata uang yang menjadi standar perdagangan dunia. Hal ini menyebabkan AS mampu memonopoli perdagangan dunia dan menguasai sumber-sumber daya alam di negeri-negeri lain ditambah dengan berkumpulnya para pemilik modal besar di AS menjadikan AS mampu menancapkan dominasi ekonominya di berbagai negara. Namun sistem fiat money yang disponsori AS ini rupanya mengandung satu kelemahan mendasar, yaitu inflasi. Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum atas barang yang bisa terjadi akibat suplai uang yang berlebihan apalagi jika negara tersebut menganut sistem ekonomi ribawi yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang. Inflasi merupakan masalah umum bagi negara-negara yang menganut sistem fiat money. Pernah suatu ketika, Brazil membuang berton-ton hasil kopinya ke laut demi mencegah inflasi yang meningkat tajam. Selain fiat money yang masuk dalam sistem uang kertas, juga terdapat uang kertas substitusi, yaitu uang kertas yang mencerminkan kadar jumlah emas dan perak yang disimpan di tempat tertentu dan bisa ditukar sesuai permintaan, dan uang kertas yang dijamin.
Adapun mengenai kurs pertukaran mata uang, apabila negara-negara tersebut menggunakan sistem uang emas dan perak dengan sistem uang logam tentu masalahnya menjadi jelas, karena uang yang dipertukarkan esensinya sama yaitu menukar emas dengan emas, yang berbeda mungkin hanya ukiran dan gambar yang tercetak pada uang tersebut. Apabila negara tersebut menganut sistem uang substitusi, maka kondisi negara tersebut persis sama dengan kondisi negara dalam sistem uang logam. Dalam sistem fiat money, dimana pertukaran mata uang terhadap emas dilarang, maka yang terjadi disini ialah pembelian daya beli mata uang terhadap barang-barang. Dengan kata lain, uang dalam fiat money bukan lagi hanya sebagai alat tukar tapi sudah berfungsi juga sebagai barang dagangan. Dengan demikian, manfaat mata uang asing bagi kita sangat bergantung kepada daya beli mata uang tersebut. Contoh,harga suatu barang di Amerika 1 dolar, sementara di Indonesia harga barang tersebut, dengan jenis dan jumlah yang sama Rp 10.000, ini akan membentuk kurs rupiah terhadap dolar yaitu 1 dolar setara 10.000 rupiah. Jika suatu saat harga barang tersebut di Indonesia naik menjadi 15.000 rupiah, akibat kelangkaan misalnya, sementara di AS harga itu masih tetap 1 dolar, maka kurs akan berubah menjadi 1 dolar setara 15.000 rupiah. Demikianlah, kurs pertukaran tersebut bisa berubah mengikuti perubahan harga-harga barang. Apabila tingkat harga-harga di suatu negera naik dibanding negera lain, akibat bertambahnya jumlah uang beredar misalnya, maka kurs pertukaran mata uang antara kedua negara tersebut pasti mengalami perubahan.
Inilah realitas pertukaran mata uang dan realitas pertukaran kurs mata uang. Adapun hukum syara’ mengenai hal ini ialah bahwa Negara Islam akan senantiasa menganut sistem uang emas apakah dengan model uang logam atau uang kertas substitusi. Allah SWT telah menetapkan dalam al-quran mengenai satuan-satuan yang bisa dinyatakan oleh masyarakat untuk memperkirakan nilai barang dan jasa. Ketentuan ini bisa dipahami dari beberapa hal berikut: pertama, ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal) Islam mengkhususkannya pada emas dan perak. Allah SWT berfirman : ”Wallaziina yaknizuuna adz-dzahaba wal fidhdhata wa laa yunfiqunahaa fi sabilillah fa bassyirhum bi adzaabin aliim” (dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah maka kabarkanlah kepada mereka siksa yang pedih). Kedua, Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum baku yang tidak berubah-ubah, misal,Islam mewajibkan membayar diyat dengan ukuran tetentu dalam bentuk emas. Ketiga, Rasulullah SAW menetapkan emas dan perak sebagai uang dan beliau hanya menjadikan standar emas dan perak sebagai standar uang. Keempat, ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, atau menetapkan nishab zakat itu atas emas dan perak. Kelima, hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukakan dengan emas dan perak. Atas kelima dasar inilah, uang dianggap sebagai barang yang telah dijelaskan hukumnya oleh Islam. Pertukaran mata uang di dalam negeri antara mata uang sejenis, harus sama, baik berat maupun jenisnya dan tidak boleh dilebihkan, sebab kelebihannya itu masuk riba yang diharamkan syara’. Sedangkan pertukaran mata uang dengan jenis yang berbeda misal antara emas dengan perak boleh dilebihkan dengan syarat harus kontan. Sedang fiat money, yaitu uang yang tidak dapat ditukarkan dan tidak disandarkan kepada emas dan perak, maka uang tersebut mengambil hukum dari dua jenis uang yang berbeda. Sehingga dalam hal ini boleh melebihkan atau menyamakan kurs pertukarannya dengan syarat sama-sama tunai.
Inilah sistem uang yang telah ditetapkan dalam Islam. Sistem ini bersifat stabil karena memiliki kekuatan hakiki yaitu berupa emas dan perak yang diakui oleh seluruh manusia di dunia. Emas dan perak merupakan logam mulia yang tidak lekang dan hancur oleh zaman. Inflasi hampir tidak akan terjadi dan kalaupun terjadi,persentase kenaikannya akan sangat kecil. Hal ini disebabkan karena uang yang dikeluarkan negara selalu mengacu pada ketersediaan emas dan perak plus negara Islam tidak menganut sistem ekonomi ribawi yang bisa memperparah inflasi. Adapun kurs pertukaran mata uang negara Islam dengan mata uang negara lain,tetap tidak akan mempengaruhi negara Islam karena dua alasan:
Semua bahan mentah yang dibutuhkan negara sudah dipenuhi oleh negeri-negeri Islam, sehingga negara Islam tidak membutuhkan bahan dari negara lain secara vital dan mendesak.
Negara Islam mempunyai barang-barang seperti minyak, yang dibutuhkan oleh seluruh negara di dunia.
Oleh karena itu, negara yang tidak membutuhkan negara lain (karena semua kebutuhan sudah terpenuhi), juga memiliki barang yang dibutuhkan oleh seluruh negara, tentu tidak akan terpengaruh sedikitpun dengan perubahan kurs tadi. Sebaliknya negara Islam justru mampu menguasai bursa uang dunia, dan tidak ada negara lain yang mampu berkuasa dengan mata uangnya, termasuk dolar AS yang merajai dunia saat ini. Dengan kata lain, solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan krisis mata uang yang telah menimpa negeri kita selama bertahun-tahun tiada lain kecuali merombak total sistem ekonomi dan keuangan yang ada selama ini kemudian digantikan dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh institusi yang menerapkan Islam tidak hanya ekonomi saja, tapi secara komprehensif untuk seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam bis shawab


Daftar Pustaka:
1. Fokus Kompas, ed.3-9-2005
2. Taqiuddin an-nabhani, Membangun Ekonomi Alternatif
3. Wikipedia.org

0 Comments:

Post a Comment

<< Home